Pada tahun 2012, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) melalui Direktorat Pengurangan Bencana menandatangani MoU dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia untuk “menugasi” UI sebagai salah satu focal point dari 12 jenis ancaman bencana yang ditangani BNPB, yakni cuaca ekstrim. Ketika itu Pusat Riset dan Respon Bencana UI atau Disaster Response and Research Center UI (DRRC UI) belum berdiri, karena DRRC UI memang baru resmi berdiri dengan SK Rektor UI No. 0140A/SK/R/UI/2014 per tanggal 4 Februari 2014.
Sejak ditandatanganinya MoU tersebut, bencana akibat cuaca ekstrim atau jenis bencana hidrometeorologi ini tidak pernah berada dibawah angka 80-an % dari proporsi kejadian bencana yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Jenis bencana ini berimplikasi pada terjadinya bencana lain, diantaranya adalah banjir dan tanah longsor. BNPB mencatat bahwa hingga akhir Oktober 2016 ini, telah terjadi lebih dari 1.800 kejadian bencana diseluruh Indonesia, dan sudah ada lebih dari 350 orang korban jiwa dari kejadian bencana tersebut.
Mencermati fakta tersebut, tampaknya memang diperlukan upaya yang lebih konkret untuk merespon dampak cuaca ekstrim ini dengan lebih tepat. Salah satunya adalah membuat terobosan-terobosan kebijakan antisipasi bencana. Hal ini tentunya telah sejalan dengan semangat pengurangan risiko bencana (PRB) yang selalu diperingati oleh pemangku kepentingan penanggulangan bencana dalam peringatan bulan PRB di bulan Oktober setiap tahunnya.
Daur Kausalitas
Mengacu pada literatur yang ditulis oleh Andrew Collins berjudul “Disaster and Development” (2009). Sebuah kebijakan pembangunan yang berperspektif tata kelola bencana terbentuk dari model keberpihakan daur kausalitas antara pilihan more emergency oriented dan more development oriented.
Model ini membedakan cara pandang tata kelola bencana yang terkait dengan orientasi pencegahan atau respon pada bencana. Jika pengemban tugas negara yang dilembagakan melalui peraturan perundangan lebih berorientasi pada pembangunan sebagai sebuah mekanisme linear positif (more development oriented), maka pola kebijakan pencegahan akan lebih dominan.
Sementara jika pengemban tugas negara lebih berorientasi pada penanganan kegawatdaruratan semata (more emergency oriented), maka pola kebijakan respon akan menjadi dominan. Sedangkan tahap-tahap penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini, mitigasi, pertolongan, pemulihan, rehabilitasi) berada dalam suatu siklus yang tidak terputus diantara kedua pola orientasi tata kelola bencana tersebut.
Secara nasional, sejak UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disahkan, semangat untuk menerapkan model more development orientedtelah terwujud dengan pengarusutamaan PRB yang terdokumentasi dalam rencana nasional penanggulangan bencana (Renas PB). Namun tampaknya semangat ini belum sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan juga oleh lebih dari 300 kabupaten / kota yang terindikasi rawan bencana menurut BNPB.
Ironisnya, bahkan pemerintah daerah tersebut umumnya juga belum menerapkan more emergency oriented dalam kerangka kebijakan pembangunan daerah. Ini artinya bahwa pemerintah daerah memang belum menerapkan kebijakan pembangunan daerah yang berperspektif tata kelola bencana sebagaimana menurut Collins di atas.
Untuk itu, pemerintah pusat melalui BNPB tampaknya memang perlu mengambil kebijakan ekstrim yakni dengan menata kembali fungsi BNPB yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana, yakni: koordinasi, komando dan pelaksana.
Dalam penjelasan pasal 15 ayat 2 UU Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan fungsi koordinasi adalah melakukan koordinasi pada tahap prabencana dan pascabencana, sedangkan yang dimaksud dengan fungsi komando dan pelaksana adalah fungsi yang dilaksanakan pada saat tanggap darurat.