Mohon tunggu...
Risono Cirebon
Risono Cirebon Mohon Tunggu... profesional -

penulis blog untuk edukasi dan berbagi semoga bisa menginspirasi anak negeri menuju Indonesia yang lebih baik, segala hal terkait dengan saya silahkan ikuti @riscirebon di Twitter

Selanjutnya

Tutup

Money

Hilirisasi Mineral Dipengaruhi Nasionalisme Sesat

9 Juni 2015   09:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:09 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah nasionalisme sesat saya ambil dari Faisal Basri ketika sesi tanya jawab dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema "Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia", 25 mei 2015 di Jakarta, dimana menurut Faisal Basri yang dimaksud nasionalisme sesat dicirikan dengan aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah berubah-ubah. 

Menurut Fasisal Basri, berbagai peraturan perundang-undangan hilirisasi mineral di Indonesia sering berubah-ubah sejak diundangkanya UU No.4/2009 (UU Minerba) pada tanggal 12 Januari 2009, dimana pada tahun 2010 atau setahun setelah UU Minerba diundangkan, pemerintah menerbitkan PP No.23/2010 yang isinya membolehkan ekspor mineral dan batubara (minerba) sebagaimana dimaksud pada pasal 84 ayat (3). Kemudian pada tahun 2012 pemerintah melarang ekspor mineral sesuai Permen ESDM No.7/2012 tertanggal 6 Februari 2012 seperti yang dimaksud pasal 21 yang melarang ekspor bijih (raw material atau ore) paling lambat 3 bulan sejak berlakunya Permen ini. Kemudian hanya berselang 3 bulan kemudian dibolehkan ekspor, asal dapat rekomendasi dari Menteri c.q Dirjen seperti yang dimaksud dalam ketentuan pasal 21 permen ESDM No.11/2012 pada tanggal 16 Mei 2012. Kemudian pada tahun 2013 pemerintah membolehkan ekspor bijih sampai dengan 12 Januari 2014 melalui Permen ESDM No.20/2013. Dan diawal tahun 2014 pemerintah memberlakukan larangan ekspor bijih yang diskriminatif khususnya untuk bauksit dan nikel melalui PP No.1/2014 tertanggal 12 Januari 2014 dan Permen ESDM No.1/2014, sementara konsentrat tembaga dan beberapa raw material lainya masih bisa di ekspor.

Dari sinilah perdebatan panjang dimulai sampai saat ini, karena inti dari pelarangan ekspor bijih sebenarnya untuk para pemegang kontrak karya, tetapi pada akhir drama kebijakan hilirisasi mineral ini, malah pemegang kontrak karya seperti Freeport dan Newmont, yang masih mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut, karena bisa ekspor raw material konsentrat bijih tembaga. Apapun dalih yang digunakan pemerintah untuk membenarkan kebijakan yang dinilai diskriminatif tersebut, masyarakat tetap akan melihat kepada tujuan utama UU Minerba yang diundangkan tahun 2009 itu sendiri, karena jelas sekali dalam UU Minerba, yang dimaksud dalam pasal 170 jelas-jelas  mewajibkan pemegang kontrak karya untuk melakukan pemurnian didalam negeri selambat-lambatnya 12 januari 2014. Para pembuat undang-undang saat itu sudah tahu dan faham kalau yang selama ini diekspor Freeport adalah konsentrat, makanya ditekankan untuk dimurnikan didalam negeri dengan batas waktu sampai 12 Januari 2014, sesuai yang dimaksud dalam pasal 170  UU Minerba tersebut.  Ketidaktegasan pemerintah yang sudah dibekali “senjata super ampuh” berupa UU Minerba yang sudah disyahkan oleh para wakil rakyat yang duduk di parlemen dalam masalah pelarangan ekspor raw material ore kepada pemegang kontrak karya, tetapi pemerintah tidak juga melarang pemegang kontrak karya untuk ekspor raw material,  tentunya hal ini berakibat pada ketidak adilan perlakuan kepada pelaku industri pertambangan mineral di Indonesia khususnya untuk bauksit dan nikel.

Kita sebenarnya bisa melihat sendiri bagaimana drama menjelang penetapan larangan ekspor mineral mentah ini, bagaimana sebuah opini masyarakat digiring untuk tidak sependapat dengan pemerintah dalam larangan ekspor mineral mentah dan kita bisa melihat jelas bagaimana perlawanan dan tekanan yang dilakukan Freeport dan Newmont kepada pemerintah Indonesia saat itu, bahkan sempat mengancam mengugat pemerintah Indonesia ke abitrase internasional, yang pada kenyataanya hal itu tidak terjadi dan saya yakin tidak akan terjadi, selagi kita berpegang pada undang-undang Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Tetapi rupanya, tekanan ini cukup berhasil sehingga pemerintah memberlakukan larangan ekspor bijih yang diskriminatif khususnya untuk bauksit dan nikel melalui PP No.1/2014 tertanggal 12 Januari 2014 dan Permen ESDM No.1/2014 dengan memunculkan istilah konsentrat sebagai produk intermediate hasil pengolahan mineral yang masih boleh di ekspor.

Sebenarnya esensi dari UU Minerba bukan untuk memunculkan istilah konsentrat sebagai pembenaran ekspor raw material, tetapi bagaimana kita harus mulai membangun ketahanan nasional bangsa Indonesia melalui hilirisasi pengolahan sumber daya alam khususnya mineral bijih logam yang ada di bumi pertiwi ini. Kalau hanya bicara dampak jangka pendek, maka yang dirugikan akibat pelarangan diskriminatif khususnya bauksit dan nikel, jelas ada, untuk sektor pertambangan bauksit saja, setidaknya dampak dari larangan ekspor bijih bauksit ini, ada sekitar 40.000 tenaga kerja di sektor ini terkena dampak pengurangan tenaga kerja atau PHK dari 73 IUP yang sudah beroperasi produksi tambang bauksit di 3 propinsi meliputi Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, belum lagi dampak keuanganya dari nilai ekspor bijih bauksit tahun 2013 yang nilainya mencapai 18,4 trilyun rupiah, belum lagi dampak yang diderita untuk sektor pertambangan nikel yang dampaknya jauh lebih besar daripada sektor pertambangan bauksit.

Kalau dilihat kemampuan produksi bijih bauksit di Indonesia sebelum pelarangan ekspor tahun 2013 bisa mencapai 58,7 juta ton bijih bauksit, dimana semuanya untuk memenuhi kebutuhan ekspor bijih bauksit yang mencapai  55,1 juta ton bijih bauksit di ekspor ke luar negeri. Kalau bijih bauksit tersebut diolah menjadi alumina, maka bisa untuk menghasilkan sekitar 25 juta ton alumina atau bisa untuk diolah menjadi logam aluminium di dalam negeri melalui pabrik Inalum dengan kapasitas smleter saat ini untuk selama 100 tahun, bayangkan 1 tahun kita ekspor bijih bauksit bisa untuk menghidupi pabrik Inalum selama 100 tahun, inilah yang harus segera di tata, jangan boros dengan sumber kekayaan alam yang kita miliki, karena mineral yang ada dibumi pertiwi ini tidak dapat diperbaharui, kalau kita tidak berhemat maka tunggu saja kekayaan mineral Indonesia akan habis dan bernasib sama seperti kekayan minyak yang dulu Indonesia sempat memiliki cadangan minyak yang besar, tetapi karena boros ekspor minyak, akhirnya Indonesia dikeluarkan dari keanggotaan OPEC, karena kita bukan lagi negera pengekspor minyak tapi menjadi pengimpor minyak.

Negara-negara yang memiliki cadangan bauksit yang lebih besar dari Indonesia seperti Brazil, Guinea, dan Vietnam saja tidak “jor-joran” produksi bauksit apalagi hanya untuk ekspor raw material, bahkan di tahun yang sama 2013, produksi bijih bauksit Vietnam hanya seperempat juta ton bijih bauksit atau kurang dari 0,5% dari ekspor bauksit Indonesia, padahal cadangan bijih bauksit Vietnam 2 kali lipat lebih besar dari cadangan bauksit Indonesia, sekarang saatnya bangsa Indonesia berani untuk katakan “tidak” untuk ekspor raw material semua jenis mineral logam yang kita miliki, termasuk mineral logam tembaga, emas dan lainya, pakai slogan “tiji tibeh” untuk pelaku ekspor raw material, itu baru dikatakan tidak diskriminatif.

Amerika walaupun sedikit, sebenarnya memiliki cadangan bauksit juga, cadangan bauksit Amerika sekitar 2% dari cadangan bauksit yang dimiliki Indonesia, tetapi Amerika tahun 2014 saja diperkirakan bisa memproduksi 4,2 juta ton alumina dengan mengimpor raw material bijih bauksit 9,6 juta ton bijih bauksit, sementara alumina yang di ekspor Amerika mencapai 2,2 juta ton alumina (sumber: www.usgs.gov).  Kalau kita hitung kasar nilai impor bauksit Amerika dengan perkiraan harga rata-rata US$28/ton bauksit maka nilai impor bauksit sebesar US$ 268,8 juta, lalu coba bandingkan nilai ekspor alumina Amerika pada tahun yang sama diperkirakan bisa mencapai US$ 814 juta atau surplus sekitar US$ 545 juta, nilai ini sudah lebih dari cukup untuk membangun satu smelter alumina kapasitas 300.000 ton alumina, coba bandingkan dengan Indonesia secara umum perdagangan ekspor-impor malah defisit.

Kita bisa hitung berapa nilai tambah yang didapat Amerika dari pengolahan bijih bauksit menjadi alumina saja, belum dari industri mineral logam lainya seperti Freeport, harusnya Indonesia mulai “melek data” dan belajar dari Amerika bagaimana negara tersebut mengelola kekayaan alamnya, artinya kalau raw material bijih bauksit masih bisa impor sebaiknya impor saja, sementara cadangan mineral yang ada di bumi Paman Sam “disuruh tidur” pun tidak akan basi malahan nilainya akan semakin meningkat, konsep Amerika dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah harus “dieman-eman” atau hemat se hemat-hematnya. Inilah yang dicita-citakan oleh Bung Karno terkait konsep berdikari dan menjadi esensi UU Minerba untuk peningkatan nilai tambah yang pada akhirnya untuk ketahanan dan kemandirian bangsa Indonesia, sehingga kita tidak lagi mejadi jongos di negeri sendiri yang kaya akan sumber daya alam mineral ini.

Pemerintah Indonesia harus benar-benar hadir dalam menata hilirisasi ini, dan memiliki road map yang jelas, misalkan dalam membangun Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina di Indonesia, maka pemerintah harus memaksa kepada pelaku industri sesuai dengan tujuanya. Kalau pemerintah hanya menata kulitnya saja, maka yang terjadi adalah pelaku industri akan lebih melihat hanya dari sisi bisnisnya saja dan tentu mindset kapitalis yang bermain, padahal untuk membangun industri hilir sampai ke hulu yang mulai dari nol diperlukan nasionalisme yang tidak sesat, apalagi nilai investasi yang dibutuhkan juga sangat tinggi bisa diatas US$ 400 juta. Seperti yang terjadi saat ini, ekspor bijih bauksit Indonesia “jor-joran” tetapi pabrik Inalum masih mengimpor alumina (SGA) sebesar 250.000 ton per tahun dari Australi. Saatnya Indonesia bangkit, sehingga anak-cucu kita nanti tidak hidup seperti sekarang ini, memang semua itu butuh perjuangan dan pengorbanan untuk mencapai Indonesia yang lebih baik dan tentunya dalam rangka mewujudkan masyarakat indonesia yang adil secara sosial, seperti yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia sesuai sila ke-5 Pancasila, yang baru saja kita peringati hari kesaktian Pancasila beberapa hari lalu.

Dari rencana 8 smelter alumina yang ada dengan nilai investasi sekitar US$ 8,8 milyar, sampai saat ini baru 1 smelter alumina yang sudah beroperasi produksi yaitu untuk jenis chemical grade alumina, sisanya adalah pabrik untuk smelter grade alumina yang 2 diantaranya sudah dalam tahap kontruksi yaitu di Kendawangan, Kalimantan Barat dan satu lagi di Bintan, Kepulauan Riau, dimana sesuai dengan rencana pengembangan industri alumina di Indonesia, direncanakan sampai dengan tahun 2020 diharapkan Indonesia bisa memproduksi alumina sebanyak 8,5 juta ton alumina. Kalau rencana ini terus didorong untuk dapat direalisasikan maka Indonesia sudah bisa memproduksi alumina 2 kali lipat dari prdouksi alumina Amerika saat ini, dan menurut saya, kalau rencana ini bisa direalisasikan maka sudah sangat bagus, sehingga fokus sekarang tinggal bagaimana rencana ini benar-benar bisa direalisasikan, bahkan kalau saya ambil pesimis misalkan bisa terealisasi 50%-nya saja proyek smelter alumina bisa terealisasikan, maka Indonesia sudah setara dengan Amerika dalam pengusaan industri alumina di dunia dan ini pun sudah bagus, dan tentunya Inalum tidak perlu impor alumina dari Australi, bahkan kita harap pemerintah agar mendorong Inalum untuk menaikan kapasitasnya dalam 3 tahun ke depan menjadi 2 kali lipat dari yang terpasang sekarang, sehingga ketika Indonesia mampu memproduksi alumina (SGA) sendiri bisa maksimal diserap didalam negeri, meningat Inalum sangat strategis dalam industri logam aluminium didalam negeri maupun untuk ekspor dalam bentuk logam aluminium.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun