Kendari memang menjadi penting peranya agar mewujudkan obsesi Jepang untuk menguasai samudera Hindia dan samudera Pasifik. Apalagi letak Kendari yang berhadapan langsung dengan Australia, sehingga dengan mudah Jepang dapat memantau pergerakan sekutu.
Setelah menduduki Kota Kendari, Jepang lalu menuju lapangan terbang Kendari II yang letaknya sejauh 30 KM dari pemukiman awal mereka (di teluk Kendari). Dengan cepat Jepang menyulap Kendari menjadi kota pertahanan militer yang memegang peran dalam kelangsungan ambisi fasis jepang. Kendari selain basis komando juga tempat bengkel dan docking serta gudang perbengkelan atau peralatan untuk tentara Jepang.
Setelah berhasil mengusir belanda dari Kendari, Jepang akhirnya menguasai Sulawesi Tenggara sepenuhnya. Tidak cukup sampai di situ saja, demi melegitimasi kekuasaannya Jepang lalu membentuk sistem pemerintahan sipil dengan tidak menghilangkan sistem Hindia-Belanda sebelumnya. Kendati sistem itu dalam bentuk sipil, namun kenyataannya pemerintahannya penuh ketegasan dengan segalah tindakan tertuju kepada kesuksesan perang, sehingga terkesan dalam suatu pemerintahan "fasis".
Jepang masuk di Indonesia bukan saja karena ambisi perang dan obsesi kekuasaan, tapi juga tujuan propaganda untuk melegitimasi kekuasaannya. Maka dengan tiga slogannya propagandanya yang terkenal yakni, Jepang cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang pemimpin Asia, sehingga Jepang dikenal sebagai macan Asia dan juru selamat bagi rakyat Indonesia saat itu.
Untuk mendapat simpati rakyat, maka pada awal Jepang menduduki Sulawesi Tenggara  mencoba mengambil hati masyarakat setempat, Namun tidak lama berselang muncul sifat fasis dari Jepang. Hal ini didasarkan kepentingan perang dan obsesi kekuasaan.
Dikutip dari buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara karya Burhanudin dkk, Tindakan tegas Jepang terhadap Belanda dan Cina disertai dengan menunjukkan sikap yang ramah kepada penduduk asli, para penganut Kristen dituding sebagai antek Belanda sedangkan Islam di dekati. Semua sekolah zeding dan misi yang merupakan sekolah pemerintah Hindia-Belanda diambil alih oleh pemerintah Jepang, namun untuk orang Islam diperbolehkan mendirikan sekolah Jamiatul Muslim dan beberapa pemuda Islam diizinkan untuk melanjutkan sekolah di Makassar.Â
Pemuda-pemuda  itu, juga diikutkan dalam latihan-latihan kepemudaan yang digelar oleh pemerintah sipil Jepang. Beberapa di antara mereka sempat memasuki pendidikan Heiho guna untuk meningkatkan kapasitas dibidang pertanian. Pemerintah Jepang bahkan sempat melakukan penanaman kapas secara rutin dan pengadaan lumbung padi desa. Namun tiba-tiba muncul sifat fasis ala Jeangnya. Secara paksa Jepang mempekerjakan masyarakat Sulawesi Tenggara secara paksa dan tampah upah untuk ambisi perangnya.
Jepang yang terobsesi terhadap kekuasaan harus membutuhkan banyak tenaga pekerja demi kesuksesan perang. Â Lebih dari itu, tenaga pekerja ini harus suka rela tanpa bayaran. Belakangan pekerjaan ini dikenal dengan istilah romusha. Rakyat digulirkan setiap 2 bulan untuk membangun kubu-kubu dan lapangan terbang tentara Jepang. Tenaga rakyat sangat dikuras, apalagi Kendari merupakan basis Jepang yang harus dibangun dengan segala kebutuhan pertahanan militer dan kepentingan perang Jepang.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, Romusha Jepang sangat tidak berperikemanusiaan. Bayangkan jika beban seberat 100 kg tidak mampu dipikul empat orang, maka dikurangi menjadi tiga orang saja Sampai seterusnya hingga berkurang menjadi satu orang saja.
Zaman pendudukan jepang merupakan masa penuh siksa dengan segala penderitaan dan ketakutan yang penuh dengan penghinaan hakikat kemanusiaan. Karna obsesi mereka terhadap perang dan ambisi menjadi macan Asia, sehingga mereka menjadi sangat kejam dimata rakyat Indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Tenggara saat itu.
Benar jika belakangan setelah penjajahan Jepang rakyat banyak belajar tentang ketegasan dan kedisiplinan oleh Jepang. Lebih dari itu, seharusnya pelajaran di masa lampau yang penuh intrik, pengurasan, penghisapan, dan perilaku tidak manusiawi dari imperialisme harus menjadi pelajaran untuk kebangkitan jiwa nasionalis. Maka perekat kebangsaan tetap ada sehinga Indonesia menjadi lebih beradap dan berdaulat.