Mohon tunggu...
Risna Nurhayati
Risna Nurhayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya gemar membaca dan mengetahui hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Kenakalan Anak, Akibat Pola Asuh atau Masalah Keluarga?

1 Oktober 2024   20:45 Diperbarui: 1 Oktober 2024   23:17 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kali, kita bertemu dengan individu yang cenderung memiliki banyak kenalan dan hubungan sosial yang luas. Bagi sebagian orang, hal ini menjadi tanda seseorang yang terbuka, ramah, dan pandai bersosialisasi. Namun, jika dilihat lebih dalam, ada kemungkinan bahwa seseorang yang gemar berkenalan dengan banyak orang sebenarnya sedang menghadapi permasalahan pribadi yang tidak terlihat, seperti konflik dalam keluarga.

Keluarga adalah salah satu fondasi utama dalam perkembangan kepribadian individu. Hubungan yang harmonis di dalam keluarga umumnya menciptakan individu yang stabil secara emosional dan memiliki rasa aman yang kuat. Namun, ketika terjadi konflik dalam keluarga, hal ini dapat mempengaruhi kondisi emosional dan psikologis seseorang secara signifikan. Salah satu respons dari individu yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang berkonflik adalah pencarian pelarian di luar rumah, salah satunya melalui pergaulan dan memperluas jaringan pertemanan.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang yang sering mengalami konflik dalam keluarga lebih memilih untuk banyak berkenalan dan menjalin relasi di luar lingkungan keluarga. 

Pertama, konflik di dalam keluarga, seperti ketidakstabilan hubungan orang tua, perbedaan pendapat yang tak terselesaikan, atau bahkan pertengkaran terus-menerus, dapat menciptakan ketidaknyamanan di rumah. Dalam kondisi seperti itu, individu mungkin merasa tidak betah dan memilih untuk mencari kenyamanan di luar rumah. Bertemu dengan banyak orang memberikan kesempatan untuk melepaskan diri dari situasi yang penuh tekanan.

Kedua, interaksi sosial yang aktif dapat menjadi bentuk mekanisme pertahanan diri. Ketika seseorang mengalami tekanan emosional akibat konflik keluarga, mereka mungkin merasa kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung kepada keluarga mereka. Dalam keadaan seperti ini, menjalin banyak hubungan sosial menjadi cara untuk mengalihkan perhatian dan melarikan diri dari masalah. Pertemuan dengan orang-orang baru menawarkan hiburan sementara dan kesempatan untuk "melupakan" permasalahan yang ada di rumah.

Ketiga, seseorang yang sering mengalami konflik di rumah mungkin merasa kekurangan dukungan emosional dari keluarga. Kebutuhan akan perhatian, pengertian, dan kasih sayang yang seharusnya dipenuhi di rumah, akhirnya dicari di luar. Akibatnya, mereka cenderung menjalin banyak hubungan, baik secara dangkal maupun mendalam, dalam upaya memenuhi kebutuhan emosional mereka. Dalam hal ini, pertemanan atau kenalan yang banyak menjadi semacam kompensasi atas kekurangan dukungan keluarga.

Namun, tidak semua individu yang mengalami konflik keluarga menggunakan pergaulan sosial sebagai pelarian. Beberapa individu justru cenderung menarik diri dan membatasi interaksi sosial karena rasa tidak percaya diri atau takut terluka lagi. Hal ini tergantung pada kepribadian dan cara seseorang dalam menghadapi masalah. Namun bagi mereka yang memilih untuk memperluas lingkaran pertemanan, ada juga risiko lain yang bisa timbul. Hubungan sosial yang dangkal dan berjumlah banyak bisa membuat seseorang kehilangan arah atau identitas diri, karena mereka terlalu sibuk "menjaga hubungan" dan mengesampingkan introspeksi diri.

Seseorang yang terus-menerus berkenalan dengan banyak orang mungkin tidak sepenuhnya menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang mencari pengalihan atau kompensasi atas masalah internal. Pada akhirnya, walaupun memiliki banyak kenalan dapat memberikan kesan hidup yang dinamis dan penuh interaksi sosial, ini tidak selalu berarti bahwa individu tersebut bahagia atau merasa stabil secara emosional. Justru, ini bisa menjadi pertanda adanya masalah yang lebih dalam, terutama jika dilihat dari konteks konflik dalam keluarga.

Dalam pandangan saya, sangat penting bagi seseorang yang mengalami konflik keluarga untuk mencari solusi yang sehat dan efektif, baik melalui komunikasi yang lebih baik di dalam keluarga maupun dengan bantuan pihak ketiga, seperti konselor atau psikolog. Mengandalkan hubungan sosial sebagai pelarian jangka panjang mungkin akan memberikan rasa lega sementara, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah. Jika permasalahan keluarga tidak ditangani, ada risiko bahwa individu tersebut akan terus mencari pelarian dalam bentuk lain, tanpa pernah merasa benar-benar puas atau tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun