Sejak beberapa waktu lalu, Indonesia mulai melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB). Selain kegiatan bekerja kembali ke kantor, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat wisata juga mulai dibuka.
Alasan pelonggaran ini beragam, mulai dari kurva yang katanya mulai melandai dan kita perlu mulai berdamai dengan pandemi Covid-19. Berbagai protokol mulai pemakaian masker, cuci tangan sampai ganti baju dan mandi setiap pulang ke rumah dihimbau untuk dilakukan untuk menjaga tertular dari infeksi.
Di banyak pasar yang merupakan tempat pertemuan banyak orang dilakukan rapid test massal. Walaupun, di beberapa tempat pedagangnya kabur sebelum dites karena khawatir dengan keharusan isolasi ditempat yang kabarnya kurang layak. Hasilnya, dengan semakin banyak dilakukan tes, semakin banyak ditemukan pasien positif baru setiap harinya.
Sejak ditetapkan pelonggaran PSBB, banyak orang mulai merasa aman dengan mengikuti protokol yang dianjurkan. Tapi sebagian juga mulai lengah dan mengabaikan protokol. Padahal, protokol yang ada sekarang ini bukanlah obat ataupun anti virus. Semua protokol itu hanya langkah pencegahan.
Peluang untuk terkena infeksi Covid-19, jelas semakin besar dibandingkan ketika masa di rumah saja. Apalagi dengan semakin banyaknya orang di luar rumah dan semakin banyaknya yang tertular tanpa gejala, keluar rumah artinya sama dengan mengundang resiko tertular berbagai penyakit.
Saya mengerti, kita tidak bisa di rumah saja selamanya. Saya mengerti perasaan bosan karena harus di rumah saja. Saya mengerti ada yang memilih lebih baik mati karena Covid-19 daripada mati kelaparan karena tidak ada duit beli makanan kalau tidak bekerja. Saya mengerti kalau ada yang harus keluar rumah karena harus bekerja. Saya mengerti kalau hidup tidak bisa berhenti dan kita harus move-on. Saya mengerti ada hal-hal yang memang harus dilakukan di luar rumah.
Tetapi, yang saya tidak mengerti adalah ketika membaca berita tempat-tempat wisata ramai dikunjungi orang dan ketika dilakukan rapid test massal, ditemukan beberapa orang reaktif -- yang kemungkinan merupakan orang tanpa gejala. Saya baca di Kompas, dari rapid test massal hari Sabtu (20 Juni 2020) kemarin di 4 tempat wisata di Puncak Bogor ditemukan 32 orang reaktif. Entah berapa orang yang kemungkinan tertular dari 32 orang tersebut.
Sudah banyak yang ketahuan begitu, tetap saja ada banyak yang ingin jalan-jalan karena bosan kalau di rumah saja. Bosan loh ya, bukan karena terpaksa bekerja atau keterpaksaan lainnya. Padahal, di mana ada orang banyak berkumpul, di situ ada peluang terjadi penularan penyakit.
Memang penyakit bukan cuma Covid-19 saja, tapi saat ini Covid-19 merupakan penyakit yang belum ada obatnya dan lama sembuhnya. Apakah penting untuk jalan-jalan ke Puncak atau ke Lembang atau ajak anak main ke mall atas nama bosan? Walaupun sudah ada pelonggaran, coba dipikirkan lagi apakah memang sudah aman untuk keluar rumah jalan-jalan ke tempat wisata dan bertemu banyak orang?
Tapi memang, logikanya, kalau tempat wisata dan pusat perbelanjaan buka dan setiap orang masih di rumah saja karena takut Covid-19, ya sama saja, tidak ada roda ekonomi yang bergerak. Harus ada transaksi jual beli supaya ada pergerakan roda ekonomi. Akhirnya, selain yang terpaksa bekerja di pusat perbelanjaan dan tempat wisata, harus ada yang dengan senang hati pergi ke sana menghabiskan duitnya supaya roda ekonomi bergerak.