Hoax atau berita bohong salah satu informasi yang direkayasa untuk dapat menutupi berita yang sebenarnya atau melebih-lebihkan informasi yang bisa diartikan untuk memutarbalikkan fakta melalui proses pembacaaan dengan informasi yang menyakinkan orang lain. Terkadang tindakan adanya berita hoax dapat mengacaukan informasi yang benar dengan cara menyebarkan ke suatu media dengan pesan yang salah.
Terutama maraknya digital semakin merajalela di media sosial yaitu Instagram, Twitter, dan lain sebagainya. Masyarakat juga harus lebih cermat dalam mencerna informasi agar tidak mudah terhasut dan ikut menyebarkan hoax. Kondisi ini harus segera diantisipasi, bahkan kalau bisa dihentikan.
"Seringkali informasi yang disebarkan itu sengaja diberitakan atau sengaja dibuat untuk memanipulasi emosi kita, sehingga kita pun dapat ikut menyebarkannya lagi. Dengan kesadaran itu, tentunya kita harapkan tidak meluas penyebaran hoax berikutnya," ujar pria yang juga dijuluki Bapak Blogger Indonesia ini.
Untuk menghentikan hoax, harus ada dorongan dari diri masing-masing orang dalam masyarakat. Karena manusia itu secara sadar mengerti bahwa informasi yang beredar terutama di media sosial itu tidak bisa langsung dipercaya 100 persen.
Beredarnya hoax terkait kasus Audrey, pengeroyokan oleh 12 putri berstatus siswi SMA terhadap korban bernama Audrey, remaja putri berstatus siswi SMP di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), menyita perhatian dunia maya dan dunia nyata.
Selebgram, youtuber, artis-artis lainnya, pejabat daerah dan nasional hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun angkat bicara terkait adanya kasus ini. Â Masyarakat membuat petisi mengenai Audrey hashtag #JusticeForAudrey, menjadi tranding topik no 1 di dunia. Petisi tersebut tembus 2,1 juta tanda tangan.
Namun kembali lagi hashtag mengenai kasus ini #audreyjugabersalah, cerita dibalik hashtag sebenarnya tidak seperti apa yang diviralkan di media sosial. Informasi yang tanpa konfirmasi tersebut menjadi konsumsi publik semua kalangan hingga semua berita itu seolah-olah fakta. Informasi yang disebarkan yang tanpa bukti autentik ini mengarah ke hoax.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan kasus dugaan penganiayaan terhadap Audrey, pelajar SMP di Pontianak, yang faktanya tidak seperti kabar viral di media sosial.
Beredarnya informasi di media sosial yang menceritakan ada unsur kekerasan berupa penusukan pada bagian organ vital korban. Dar hasil peneyelidikan, Kapolresta Pontianak, Kombes M Anwar Nasir mengatakan sesuai hasil visum tidak ada luka robek atau memar pada organ vital si korban.
"Saya ulangi alat kelamin tidak tampak luka robek atau memar,"kata Anwar Nasir, Rabu (10/4/2019.) Hasil pemeriksaan ini, menurut Kapolresta menjawab isu alat kelamin korban ditusuk-tusuk oleh pelaku.
"Tidak ada perlakuan alat kelaminnya ditusuk seperti itu." Tegasnya. Kapolresta menegaskan, korban tdak pernah menyampaikan adanya tindak kekerasan di bagian kelamin.
Keterangan saksi-saksi yang diperiksa juga tidak ada yang mengatakan perlakuan penganiayaan terhadap kelamin korban.
Menurut Kapolresta Kombes M Anwar Nasir, fakta yang terjadi dan diakui pelaku adalah penganiayaan. Dari tiga pelaku yang sudah di tetapkan tersangka, satu diantaranya ada yang mennjambak rambut ada juga yang mendorong sampai terjatuh. Ada pula tersangka sempat mengapit tangan dan kaki serta memukul sambil melempar sandal.
Masalah asmara yang menjadi pemicu utama terjadinya kasus Audrey, Kapolres pun menjelaskan, pengeroyokan adanya rasa dendam dan kesal tersangka terhadap korban. Menegaskan bahwa tersangka berjumlah 3 orang bukan 12 orang.
Pada dasarnya hoax sama sekali tidak sesuai dengan fakta atau peristiwa, namun kebenaran juga dapat menjadi hoax saat keterangan yang berlebihan atau bahkan tidak relevan (tidak sesuai fakta) sehingga menghilangkan kebenaran dari peristiwa tersebut. Keberadaan hoax yang ramai diperbincangkan di dunia maya sesungguhnya menunjukkan kebutuhan masyarakat mengenai informasi yang sedang viral.Â
Dapat dikatakan bahwa masyarakat pada saat itu sedang membutuhkan informasi yang valid atas informasi yang viral dan tidak jelas kebenarannya. Prinsip profesi jurnalis dalam etika jurnalistik yaitu tanggung jawab, keadilan, dan otonomi. Seorang profesional harus bersikap tanggung jawab atas apa yang diberitakan dan menjalankan tugasnya. Dalam hal ini seorang profesional dituntun untuk wajib tidak melakukan hal yang merugikan kepentingan orang lain.
Meningkatnya pengguna teknologi, sebagai penyebab utama dari banyaknya berita hoax yang tidak memiliki etika dan moral dalam memanfaatkan perkembangan teknologi. Ketika ada konten yang mungkin hoax dan telah viral dijadikan sebagai bahan berita maka menjadi kewajiban jurnalis untuk mengatakan kebenarannya.
Tanggung jawab etis jurnalis sebagai profesi semakin terlihat dengan adanya hoax, yaitu jurnalis harus memverifikasi dan mengklarifikasi hoax yang telah meresahkan masyarakat. Â
Maka dari itu keputusan jurnalis memilih melaporkan kebenaran atas berita yang hoax dan viral. Perbuatan yang bermoral sebagai seorang profesional harus didasarkan atas permintaan hati nurani, dan bukan memanfaatkan situai serta kondisi untuk mencari sensasi atau materi (keuntungan), melainkan demi mewujudkan nilai kebenaran itu sendiri. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H