Tugas ini disusun oleh Rismayanti Khomairoh, Cinta Rivani Nabila, Erika Putri Kusumadewy dan Nadiah Ismi Fadilah
Latar Belakang
Suatu negara pasti memiliki hubungan diplomatik dengan negara lain untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Seperti halnya Indonesia, pasca kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia mulai banyak menjalin hubungan diplomatik dengan negara luar salah satunya Malaysia. Hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia resmi terjalin sejak tahun 1957 pasca kemerdekaan negara Malaysia (Sohaimi, 2011). Sebagai negara dalam satu wilayah, yakni Asia Tenggara menjadikan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia terjalin begitu dekat. Namun demikian, selama menjalin hubungan diplomatik kedua negara tersebut terkadang mengalami konflik salah satunya terkait wilayah kesatuan, mengingat letak Indonesia bagian Utara yang berdekatan dengan negara Malaysia. Hal tersebut berimbas pada hubungan diplomatik yang mengalami pasang surut.
Latar belakang terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia sering dikaitkan dengan historisitas kedua negara yang dijuluki sebagai negara bersaudara, negara tetangga dan serumpun yang memiliki banyak kesamaan dalam berbagai bidang seperti suku, bahasa, budaya hingga agama (Razak & Azhar, 2021). Dari segi demografi, di Indonesia terdapat rumpun Melayu yang mendiami beberapa wilayah Nusantara, khususnya kawasan yang berada di antara Selat Malaka, yakni Sumatera dan Semenanjung Malaya, sehingga daerah tersebut dijuluki sebagai The Cradle of Malay Culture. Secara historis, locus budaya Melayu juga tersebar di gugusan Kepulauan Nusantara termasuk Filipina, Semenanjung Malaysia dan sebagian Asia Tenggara daratan (Zed, 2015). Bahkan, beberapa sumber menyatakan bahwa rumpun Melayu tersebar hingga Madagaskar di belahan Barat hingga Formosa dan kepulauan kecil di Lautan Pasifik. Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan tanah Melayu mengalami berbagai konflik pasca penandatanganan perjanjian persahabatan pada tahun 1959 yang disebabkan oleh perbedaan ideologi politik kedua negara.
Hingga pada akhirnya konflik memuncak pada awal tahun 1960-an karena pernyataan Perdana Menteri Malaysia Tuanku Abdul Rahman yang ingin membentuk Federasi Malaysia. Tidak berselang lama, hubungan persahabatan pecah karena terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia yang pertama kali meletup pada 20 Januari 1963. Pada periode awal tahun 1960-an tersebut, persekutuan Tanah Melayu mulai digencarkan karena Perdana Menteri Malaysia pada saat itu memiliki orientasi dalam hubungan luar negeri, terutama dengan negara-negara Barat yang berideologi sama dengan Malaysia (Irshanto, 2019). Pemerintah persekutuan Tanah Melayu di bawah pimpinan Tuanku Abdul Rahman merupakan pemimpin yang pro Barat dan bergabung dalam organisasi anti komunis yang dipimpin oleh Inggris, yakni South East Asian Treaty Organization (SEATO). Hal tersebut berbeda dengan Indonesia yang cenderung pro Timur dan memiliki kedekatan seperti dengan negara Cina dan Rusia, sehingga hubungan dengan negara-negara blok Barat semakin renggang (Sutrisno & Nasution, 2013).
Konfrontasi Indonesia-Malaysia juga disebut dengan konfrontasi Borneo yang ditandai dengan konflik bersenjata sepanjang tahun 1963-1966. Faktor utama yang memicu terjadinya konfrontasi antara Indonesia-Malaysia adalah ketidaksetujuan Presiden Soekarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia. Federasi Malaysia didasari oleh proyek neokolonialisme Inggris melalui Malaysia untuk menyatukan daerah bekas jajahan di Semenanjung Malaya dan Borneo, atau Kalimantan (Departemen Penerangan RI, 1964). Hingga menuju akhir tahun 1963, hubungan Indonesia-Malaysia semakin memanas, bahkan Presiden Soekarno melakukan kampanye sebuah gerakan penolakan terhadap Federasi Malaysia dengan nama "Ganyang Malaysia" dan pada saat itu juga, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia secara sepihak. Kemudian Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) dan memerintahkan untuk melakukan operasi militer serta konfrontasi kepada Malaysia. Konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia menjadi suatu peristiwa dalam sejarah yang terjadi akibat gejolak hubungan politik diplomatis.
Operasi militer berlangsung melalui Dwikora dan ditugaskan untuk menyelesaikan misi pertahanan di Semenanjung Malaya. Operasi militer melibatkan beberapa wilayah, yakni Borneo Utara dan Serawak. Tujuannya adalah untuk mendukung gerakan kemerdekaan di wilayah tersebut dan membatasi pengaruh neokolonialisme Ingggris yang ingin mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang semakin memanas terus diiringi dengan pemberontakan dan operasi militer sepanjang tahun 1963-1966. Konflik tersebut menyebabkan ketegangan antara kedua negara dan berbagai insiden kekerasan terjadi di wilayah perbatasan mereka.
Alasan Mengapa Ganyang Malaysia Meletus di Tanah Borneo
Pulau Kalimantan dibedakan menjadi beberapa wilayah administratif dengan salah satu batas di sebelah Utara adalah Kerajaan Brunei, Serawak dan Borneo Utara atau Sabah. Kedua wilayah tersebut sejatinya diperebutkan oleh beberapa pihak antara lain Filipina, Malaysia dan Indonesia. Hal tersebut didasari oleh pandangan-pandangan serta keyakinan dari masing-masing negara bahwa wilayah Sabah dan Serawak masuk ke dalam wilayah administratif negaranya. Sikap ketidakjelasan antara Belanda dan Inggris dalam menentukan batas wilayah jajahan juga menjadi sebab awal dari perselisihan antara beberapa negara, yakni Filipina, Indonesia dan Malaysia perihal hak klaim atas Kalimantan.
Indonesia terlebih dulu menampilkan sikap penolakan terhadap adanya Federasi Malaya sebelum munculnya pemikiran Federasi Malaysia. Menurut Indonesia, Federasi Malaya dipandang dapat memperburuk eksistensi dari bangsa Indonesia sendiri. Federasi Malaya juga mendapatkan penolakan dari sebagian warga Malaya karena dianggap kemerdekaan yang diberikan kepada Federasi Malaya mendapat intervensi dari Inggris. Menurut Soekarno, adanya federasi tersebut justru akan merusak tatanan wilayah Kalimantan, maka Soekarno memutuskan untuk membagi Kalimantan menjadi tiga wilayah bagian, yakni Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (Marihandono, 2011).
Filipina melakukan klaim pada wilayah Sabah dan Serawak atas dasar kesejarahan dimana kedua wilayah tersebut menjadi milik Kerajaan Sulu melalui perjanjian antara Kerajaan Sulu dan pihak British tentang batas-batas wilayah keduanya (Aziz & Said, 2016). Berdasarkan perjanjian antara Kerajaan Sulu dengan British membuat Filipina meyakini bahwa hak klaim atas Sabah dan Sarawak berada di negara tersebut. Klaim yang dilakukan Filipina tersebut muncul ketika adanya keinginan dari Inggris untuk menyatukan wilayah Malaya, yakni Sabah dan Sarawak, Singapura serta wilayah disekitarnya untuk dijadikan sebagai bagian dari Federasi Malaysia di bawah naungan langsung dari negara induk, yakni Inggris raya. Penolakan Filipina terhadap adanya Federasi Malaysia membawa negara tersebut pada persekutuan dengan Indonesia yang juga menolak adanya keinginan dari Inggris tersebut (Pradadimara, 2014).