Mohon tunggu...
Risma Achmad
Risma Achmad Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis lepas

tetaplah membaca dan menulis hingga kau lupa caranya mencampuri urusan orang lain! musikalisasi puisi https://www.youtube.com/channel/UChjHjcKNXfito3Di7xQvAAA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menanam Duka

4 Juni 2022   18:10 Diperbarui: 5 Juni 2022   17:09 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi rumah kosong (pixabay.com)

Di sore harinya satu per satu keluarga dan kerabat berpamitan pulang. Hingga ketika petang merembang lelaki tua itu mulai merasa kesepian dan di pelupuk matanya ada mendung yang menggulung seperti menunggu saat yang tepat untuk menumpahkan hujan. Raut matanya yang penuh duka sempat disaksikan oleh seluruh pelayat sebelum mereka pulang.

Bakda isya para tetangga dikejutkan oleh erangan dari dalam rumah lelaki tua itu, menggelegar memecah kesunyian malam, membuat iba siapa saja yang mendengarnya. 

Para tetangga yang penasaran mengintip dari balik jendela. Beberapa saat kemudian mereka mendengar hujan mulai mengguyur rumah itu, lama-lama semakin lebat dan setelahnya tak pernah lagi pintu rumah itu terbuka.

***

Kepergiannya adalah duka terbesar dalam hidupku. Aku benar-benar kehilangan dan kesulitan mengekspresikan perasaanku saat aku mendapati tubuhnya kaku. 

Barangkali memang benar ditinggalkan selalu lebih memilukan daripada meninggalkan dan ternyata hati laki-laki juga bisa rapuh ketika seseorang yang sangat dicintainya pergi.

Malam itu ia masih tersenyum padaku dan mengeluhkan tubuhnya yang menggigil. Aku berusaha menghangatkan tubuhnya namun ia masih saja kedinginan dan matanya terbuka lebar. 

Aku berusaha mengajaknya bicara namun ia diam saja. Tubuhnya yang kurus gemetar dan itu membuatku sangat khawatir. Aku belum siap jika ia pergi mendahuluiku. Aku memeluknya erat-erat di tengah dinginnya malam yang merangkak pekat.

Semua berlalu begitu cepat, hingga melewati sepertiga malam aku mulai melambungkan doa-doa yang diyakini bisa membuatnya menjadi lebih tenang. Semua ayat yang diisyaratkan kitab suci telah kubacakan ke telinganya. 

Air matanya terus mengucur membasahi pipi keriputnya yang tetap cantik di mataku. Aku pun meneteskan air mata. Tepat ketika azan Subuh berkumandang, gemetarnya pelan-pelan mereda, ia tidak menggigil lagi dan aku mendapati tubuhnya telah kaku mendingin.

Aku masih di sana menyeka pipinya yang hangat dialiri air mata, mencoba menutup mulutnya yang masih sedikit terbuka, seperti ingin bicara padaku, dan aku merasakan hal yang sangat janggal di hatiku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun