Lelaki tua itu kembali menyeka gorden, mengintip gaduhnya hujan di luar jendela. Langit gelap ditutup awan hitam dan hujan pun belum letih menguyur atap rumahnya yang rapuh. lelaki itu menghela napas panjang, ada cemas yang mencuat di kerut wajahnya.Â
Di sebuah rumah yang tampak kuno, ia hidup seorang diri. Konon rumah itu selalu ramai dengan canda tawa kerabat, namun sepeninggal mendiang istrinya beberapa tahun silam, rumah itu menjelma menjadi sebuah penjara di mana ia mengurung dirinya sendiri dan tidak mau menyapa siapapun. Bila malam tiba, ia meraung menumpahkan kesedihannya.Â
***
Dialah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini, bagaimana aku tidak gila kehilangan dia. Selepas putra semata wayang kami meninggal karena leukemia.Â
Aku tak punya siapa-siapa lagi selain dia, yang mungkin terlihat menyusahkan di mata orang lain. Namun dialah seindah-indahnya perhiasanku, wanita istimewa yang menampung seluruh tawa dan air mataku.
Ia menjelma menjadi bayi semenjak terkena stroke. Terbaring di ranjang yang kian hari kian penyek kasurnya. Aku mengurusi segala keperluanya dari makan hingga urusan ke kamar mandi.Â
Melayaninya dengan tangan kerutku tanpa keluh ataupun kesah. Boleh jadi memang itulah cinta kasih yang terajut di antara kami. Saat menatap wajahnya yang berkeriput, getaran di dadaku tetap sama.Â
Sama seperti dahulu ketika pertama kali aku memintanya di hadapan orang tuanya untuk menemaniku, menjadi pakaian yang menutupi segala kurangku sebagai seorang laki-laki sejati.
***
Istrinya meninggal sehabis subuh. Keluarga dan kerabat melayat di pagi harinya untuk menyampaikan belasungkawa. Jenazah dimandikan, dikafani, disalatkan dan dimakamkan menjelang siang.Â