RISMAWATI Â 55521110016
MAGISTER AKUNTANSI MERCUBUANA
Dosen Pengampu: Prof.Dr.Apollo Dito M.Si.Ak.
I . PENDAHULUAN
Peranan penerimaan pajak dari tahun ketahun mengalami peningkatan terhadap keseluruhan pendapatan negara. Peranan penerimaan pajak sangat penting bagi negara, oleh karena itu Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak yang merupakan instansi pemerintahan di bawah Departemen Keuangan yang bertindak sebagai pengelola sistem perpajakan di Indonesia berusaha meningkatkan penerimaan pajak dengan melakukan reformasi pajak yang bertujuan agar sistem perpajakan dapat mengalami penyederhanaan yang mencakup tarif pajak, penghasilan tidak kena pajak, dan sistem pemungutan pajak. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang merupakan perubahan keempat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 disahkan pada tanggal 23 September 2008 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009. Pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menimbulkan reaksi beragam dari wajib pajak.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang "Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan", menyebutkan bahwa wajib pajak merupakan orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pendapatan negara yang paling besar adalah berasal dari sektor pajak. Pajak merupakan sumber utama dana untuk pembangunan, karena hampir sebagian besar sumber penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. Pajak telah menjadi tulang punggung penggerak roda pembangunan yang sangat dominan.
Mengingat pentingnya peranan pajak yang besar, pemerintah khususnya yang terkait dengan bidang perpajakan, selalu mengevaluasi dan memperbaharui berbagai kebijakan di bidang perpajakan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Pendapatan penerimaan pajak yang menjadi andalan adalah dari pajak penghasilan, baik badan maupun pribadi.
Pajak penghasilan merupakan salah satu dari tiga komponen terbesar dari keseluruahn penerimaan pajak (Nuswantara, 2010). Ketiga komponen tersebut adalah pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan pajak pertambahan nilai (PPN). Hal ini menunjukan bahwa potensi penerimaan pajak semakin meningkat dan masih dapat ditingkatkan lagi mengingat jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar sehingga mempunyai potensi sebagai wajib pajak. Pada hakekatnya peningkatan jumlah wajib pajak akan berbanding lurus dengan besarnya penerimaan pajak dari pajak penghasilan (Ali Imron, 2009). Berikut merupakan Grafik tentang pertumbuhan penerimaan pajak di Indonesia.
Gambar 1 . Penerimaan Perpajakan dan Pertumbuhan (Triliun Rupiah)
Gambar 1 menjelaskan bahwa Pajak mengalami peningkatan setiap tahunnya namun terjadi penurunan dari tahun 2015 ke tahun 2016 yaitu sebesar 4,6%. Namun pada tahun 2016 sampai tahun 2018 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal tersebut dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi salah satunya adalah adanya kebijakan pengampunan pajak atau Tax amnesty. Oleh karena itu kita bahas tuntas mengenai tax amnesty yang berpengaruh terhadap penerimaan Negara di bidang pajak dan bagaimanakan implikasi terhadap laporan keuangan.
II. TAX AMNESTY
Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara maka pemerintah melakukan segala upaya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan mengeluarkan Undang-Undang tax Amnesty atau pengampunan pajak pada tahun 2016. Berkaitan dengan pengampunan pajak tersebut dan pelaksanaannya maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Kemudian untuk pelaksanaan pengampunan pajak tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.118/PMK.03/2106 tentang pelaksanaan Undang-Undang No 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dengan UU Pengampunan Pajak ini dapat ditentukan apakah entitas mengakui aset dan liabilitas pengampunan pajak dalam laporan keuangannya.
Manfaat dan Tujuan dari Tax Amnesty :
- Meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui repatriasi aset, seperti peningkatan likuiditas omestk, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga dan peningkatan investasi
- Bagian dari reformasi perpajakan menuju system yang berkeadilan, serta perluasan basis data pajak
- Meningkatkan penerimaan pajak
Dan sejak Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Tax Amnesty pada Juni 2016 berbondong bondong warga Negara Indonesia tergiurikut Tax Amnesty karena dengan fasilitas istimewa yang diberikan Negara kepada warganya diantaranya :
- Penghapusan pajak yang seharusnya terutang
- Tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan
- Tidak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan
- Penghentian proses pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan
Selain itu keuntungan yang diperoleh wajib pajak :
- Jaminan rahasia, data pengampunan pajak tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan dan penyidikan tindak pidana apapun.
- Pembebasan pajak penghasilan untuk balik nama harta tambahan.
Caranya cukup mudah dengan cukup melaporkan harta tambahan dikurangi utang jika ada, dan atas selisih tersebut wajib dibayar sebagai tebusan kepada Negara sebesar persentase tertentu tergantung jenis usaha dan kapan kita mengikuti tax amnesty. Tax Amnesty sendiri dibagi menjadi tiga periode pendaftaran yaitu 30 September 2016,31 Desember 2016 dan 31 Maret 2017.
Bagi Wajib Pajak yang berupa Orang pribadi cukup mudah dalam mengikuti Tax Amnesty, namun bagaimana dengan Wajib pajak yang berupa Perusahaan, apa dampaknya terhadap laporan keuangan bahkan yang sudah pernah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.
Untuk mendukung pelaksanaan pengampunan pajak yang dapat terlihat dampaknya seperti Gambar 1 tentang pertumbuhan penerimaan pajak diatas, Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK IAI) telah mengesahkan PSAK 70 tentang Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak, sebagai standar khusus yang menjadi pedoman untuk menyajikan dan mengungkapkan aset dan liabilitas pengampunan pajak. Aset pengampunan pajak merupakan aset yang timbul dari pengampunan pajak berdasarkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP) sedangkan liabilitas pengampunan pajak adalah liabilitas yang berkaitan langsung dengan perolehan aset pengampunan pajak. Entitas menerapkan PSAK 70 jika entitas mengakui aset dan liabilitas pengampunan pajak dalam laporan keuangannya. PSAK 70 memberikan 2 pilihan kebijakan akuntansi untuk menyajikan dan mengungkapkan aset dan liabilitas pengampunan pajak yaitu dengan mengikuti ketentuan umum sesuai PSAK 25 : Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan dan mengikuti ketentuan khusus dalam PSAK 70. Perusahaan yang mengikuti pengampunan pajak berarti mendeklarasikan bahwa perusahaan telah salah dalam melakukan pencatatan akuntansi dan mengakui telah melakukan penghindaran pajak di masa lalu sehingga timbul aset dan liabilitas yang belum diakui dalam laporan keuangan di periode sebelumnya. Aset dan liabilitas pengampunan pajak merupakan perkembangan terkini yang signifikan dalam bidang ekonomi, akuntansi, dan perpajakan saat ini, sehingga mugkin terdapat risiko kesalahan penyajian material atas penambahan aset dan liabilitas pengampunan pajak yang belum dilaporkan tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi keandalan informasi dalam laporan keuangan yang telah diterbitkan dan diaudit sebelumnya. Dan juga menimbulkan persepsi bahwa pengampunan pajak tidak akan diikuti oleh perusahaan terdaftar di pasar modal, karena mereka mungkin tidak ingin mengorbankan kredibilitas laporan keuangan yang telah dilaporkan. Namun di sisi lainnya, pengampunan pajak memberikan manfaat berupa pengurangan ataupun penghapusan pajak terutang, sanksi bunga, sanksi adminitrasi, pidana pajak, dan tidak dilakukannya pemeriksaan. Oleh karena itu, perusahaan akan menimbang manfaat dan biaya yang akan ditanggung akibat pengampunan pajak sebelum memutuskan untuk mengikuti pengampunan pajak. Meskipun dengan risiko-risiko tersebut di atas, beberapa perusahaan publik tetap mengikuti pengampunan pajak namun cenderung menyajikan dan mengungkapkan tidak secara eskplisit dalam laporan keuangannya. Hal ini karena dengan alasan tidak material sesuai dengan pernyataan pada pengantar awal dalam PSAK 70.
III. STANDAR PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN YANG DISESUAIKAN DENGAN TAX AMNESTYÂ
Sesuai Undang-Undang No 11 Tahun 2016 pasal 14 disebutkan bahwa Perusahaan harus membukukan selisih antara Nilai Harta bersih sebagai tambahan atas saldo laba ditahan di Neraca Perusahaan.
Untuk membuat aturan di akuntansi menjadi jelas dan tidak membingungkan bagi penyusun Laporan Keuangan yang mengikuti Tax Amnesty, Ikatan Akuntan Indonesia menerbitkan PSAK 70 "Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak".
PSAK 70 sendiri memberikan pilihan kepada WP yang ikut tax amnesty yaitu :
- Mengakui aset dan liabilitas pengampunan pajak sesuai dengan SAK yang berlaku, artinya menerapkan PSAK 25 yaitu jika diasumsikan sebagai kesalahan material maka dilakukan penyajian retrospektif artinya menyajikan kembali laporan keuangan sebelumnya.
- Opsi lain yaitu Wajib Pajak mengukur aset dan liabilitas sebesar biaya perolehan aset pengampunan pajak, dan mengakui selisih antara aset dan liabilitas pengampunan pajak sebagai bagian dari tambahan modal disetor di ekuitas. Kebalikan dari point 1 untuk opsi ini penyajian adalah prospektif sehingga tidak perlu penyajian kembali laporan keuangan sebelumnya.
Yang harus juga menjadi catatan oleh masing-masing wajib Pajak yang mengikti tax amnesty terkait dengan aset yang dicatat dalam Laporan Keuangan, baik aset berwujud dan aset tidak berwujud yang menjadi harta tambahkan meskipun secara Akuntansi dilakukan penyusutan namun dalam rangka perpajakan penyusutan tersebut tidak diakui, sehingga nanti dalam perhitungan pajak badan akan menjadi koreksi fiscal.
IV. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan ketentuan penyajian dampak pengampunan pajak antara perlakuan perpajakan dan perlakuan akuntansi. Berdasarkan UU PP pasal 14, perusahaan menyajikan sebagai tambahan saldo laba ditahan, sedangkan menurut PSAK 70 disajikan dalam tambahan modal disetor dalam laporan posisi keuanga. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keberagaman ketentuan dalam hal penyajian dampak pengampunan pajak, yang pada prakteknya lebih banyak menyajikan sesuai dengan PSAK 70 studi kasus berdasarkan penelitian Tika Delima Siahaan, Dr. Dwi Martani, S.E., Ak. (2016).
Â
DAFTAR PUSTAKAÂ
Badan Kebijakaan Fiskal.2020.Kementerian Keuangan Republik Indonesia (online).Tersedia di (https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/kem-ppkf) [diakses pada tanggal 6 Oktober 2021]
Delima Siahaan, Tika dsn Dwi Martani.2016.Analisis Implementasi Tax Amnesty pada Laporan Keuangan Perusahaan Publik 2. Jakarta. Program Studi Ekstensi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia