"Apa itu, Beb?" tanya Galih pada Ghea yang menenteng shopping bag berukuran besar. Ghea tak menyahut dan meletakkan bawaannya itu di kursi baris kedua. Raut wajah Ghea nampak seperti ingin menerkam seseorang. Hmm... sepertinya ada yang kedatangan siklus bulanan, batin Galih. Tapi seingatnya, baru pekan kemarin tamu bulanan itu berkunjung. Galih lalu memacu Honda CRV hitamnya meninggalkan lobby kantor Ghea. Mereka meretas kemacetan kawasan Meruya menuju arah Tangerang.   Â
"Kamu tahu hari ini hari apa?" tanya Ghea sejurus kemudian. Galih menatap Ghea dengan tatapan heran. Bukan menjawab pertanyaannya, malah mengajukan pertanyaan yang tidak penting untuk dijawab, pikir Galih.
"Hari rabu. Memangnya kenapa sih, Beb?" jawab Galih sambil menyalakan audio mobil. Tak lama kemudian terdengar suara jazzy Eva Celia menyanyikan Kala Senja. Lagu yang membuatnya tetap waras menghadapi kemacetan sepulang kerja sebagai budak korporasi.
"Salah! Hari ini adalah winesday," kata Ghea ketus. Ia lalu mengganti playlist lagu dengan musik breakbeat dari gawainya dan menambah volumenya. Â Galih hanya geleng-geleng dan tersenyum tipis melihat tingkah Ghea. Sekarang ia sudah mengetahui apa isi bungkusan yang dibawa oleh gadis berlesung pipi itu.
Mobil pun memasuki jalan tol Jakarta-Merak yang ramai lancar. Sepanjang perjalanan Galih berkali-kali mencuri pandang ke arah Ghea yang masih merengut. Ia menduga-duga masalah apa yang sedang dialami gadis cantik disampingnya itu. Bisa jadi karena baru saja dimarahi atasan, mendapat klien yang menyebalkan, atau gagal dalam pitching. Entahlah, Galih hanya bisa menerka.
Sesampainya di unit apartemen, Ghea langsung membersihkan diri. Galih memilih untuk bersantai menonton TV ditemani sekaleng softdrink dingin. Tak berapa lama, perutnya terasa lapar. Ia lalu memesan beberapa menu untuk makan malam via aplikasi daring.
"Makan malam dulu, Beb. Ini sudah aku pesankan yakiniku rice bowl dan salad," tawar Galih begitu melihat Ghea keluar dari kamarnya. Ghea yang mengenakan baju terusan nampak tak berselera untuk makan. Ia hanya menggeleng. Walau nampak lebih segar, namun raut wajahnya belum banyak berubah.
"Ayolah, kalau kamu telat makan, nanti kamu sakit. Aku ngga mau melihat kamu sakit. Makanlah sedikit aja," rayu Galih dengan gigih. Ghea pun luluh, walau dengan setengah hati. Disuapnya beberapa sendok lalu lanjut menyantap sedikit salad. Â Selesai makan, Ghea lalu mengambil bungkusan yang baru sore tadi ia beli. Dibukanya perlahan, dan isinya sudah seperti yang Galih duga.
"Beb, aku bisa mengerti bila emosi kamu meledak-ledak. Aku bisa memahami bila kamu tiba-tiba uring-uringan ngga jelas. Aku rela menjadi tempat sampah buat kamu. Tapi jujur aku tak mengerti ritual kamu yang satu ini," ujar Galih seraya menatap dalam mata Ghea. Nada bicaranya pelan tapi intonasinya tegas.
"Kamu tak akan pernah mengerti," kata Ghea datar. Ia lalu membawa isi bungkusan itu ke balkon dan meletakkannya di atas meja kecil. Galih menyusul membawa gelas wine dan wine screw lalu meletakkannya di meja. Galih dan Ghea lalu duduk berhadapan.