"Yakin mau ke Myanmar?"
"Emang di sana aman?"
"Bukannya di sana ada lagi ada konflik ya?"
Tiga pertanyan tersebut terlontar dari mulut seorang teman ketika saya mengutarakan maksud saya yang ingin melancong ke Myanmar, negara yang memiliki garis lintang paling utara di ASEAN.
"Insyaallah aman." jawab saya yakin.
Tentu saja saya tidak asal dalam menjawab. Saya tidak menutup mata dengan banyaknya berita negatif tentang konflik bernuansa SARA di salah satu wilayah di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha tersebut. Namun sudah menjadi keharusan, jika saya akan berkunjung ke suatu tempat, saya akan mencari tahu soal keadaan tempat tersebut dari banyak referensi. Tidak hanya satu-dua.
Berdasarkan banyak blog yang saya khatamkan, ada satu benang merah yang bisa saya ambil; bahwa orang Myanmar sangat ramah! Percaya atau tidak.
Pengalaman pertama saya dapatkan ketika berkunjung ke salah satu candi di kota Bagan, sekitar 9 jam perjalanan darat dari kota Yangon. Saya iseng bertanya kepada seorang anak wanita yang menjual suvenir; di mana saya bisa membeli thanaka, bedak dingin khas Myanmar. Anak wanita tersebut langsung menawarkan mengoleskan thanaka di pipi saya dengan percuma. Katanya sebagai bonus karena saya telah membeli Pyit Tian Tung, boneka kayu khas Myanmar di lapaknya :)
Lalu, ketika baru tiba di Yangon dari Bagan, saya kaget karena bus berhenti di terminal yang tidak sesuai dengan perkiraan. Melihat saya yang terlihat kebingungan, salah seorang penumpang bus yang merupakan warga asli Myanmar menyapa saya. Dia dengan ramah menanyakan ke mana tujuan saya. Saya jelaskan bahwa sebelumnya saya sudah memiliki janji dengan driver yang akan menjemput saya di terminal berbeda. Â Pria yang ternyata berprofesi sebagai penerjemah bahasa Pali [bahasa yang banyak digunakan dalam kitab umat Buddha (?)], dengan sopan menawarkan diri untuk menelepon driver. Bahkan dia merelakan waktunya tersita hanya untuk menunggui saya, memastikan saya benar-benar sudah bertemu dengan driver yang akan menjemput saya.
Lain lagi cerita ketika saya menunaikan salat zuhur di salah satu masjid di pusat kota Yangon. Setelah selesai salat berjamaah, saya dihampiri oleh seorang pria tua, yang mungkin seorang imam di masjid tersebut. Beliau nampak sangat antusias ketika mengetahui saya berasal dari Indonesia. Di akhir perbincangan, beliau mengatakan bahwa sepatu saya sudah beliau simpan di tempat penitipan sepatu, karena sebelumnya saya lupa menaruh di tempat yang semestinya :D
Pun ketika saya berkunjung ke salah satu pagoda paling terkenal di Myanmar. Saya dihampiri oleh seorang pria tua yang mengaku sebagai profesor di salah satu universitas di Yangon. Beliau tanpa pamrih menjelaskan banyak hal tentang peribadatan yang sedang dilakukan oleh warga lokal di pagoda tersebut. "We are the same. The difference is in our mind." Ucapnya sambil tersenyum, mengakhiri perbincangan kami.