[caption id="attachment_52582" align="alignright" width="225" caption="ilustrasi by google"][/caption] Hidup ini, pohon yang berbuah pembelajaran kata ayahku dulu sekali. Ada yang mengambil dengan cara memetik karena memang terjangkau, dan ada juga yang mesti memanjat dengan cepat untuk mendapatkannya. Tapi, tak kurang pula yang mesti dengan susah payah memeluk badan pohon karena belum mahir dalam memanjatnya. Malah ada juga yang sudah naik lalu memutuskan turun karena takut menginjak dahan kecil. Ada pula yang menunggu buahnya hingga jatuh. Di sini nasib kerap bercanda karena buah yang di dapat ternyata tidak sebagus yang diharapkan. Masih mending begitu ketimbang mendapatkan buah yang masam atau pahit dan atau berulat. Khusus untuk buah yang masam dan pahit ayah ku berpesan untuk tidak segera membuangnya apalagi sampai mengutuk buah yang ada. Tidak suka belum tentu tidak perlu. "Siapa tahu kala dirimu sakit misalnya, kamu justru membutuhkan buah yang pahit. " Saya hanya mendengar dan meng-anguk. Tapi biar kesannya keren saya angkat bicara dan mengusulkan: "Ayah, gimana kalau semua pohon di bumi ini kita tanam dengan pohon yang manis saja? Pohon yang masam dan pahit kita tebang saja." "Wow, anak ayah memang penuh semangat." Ayah ku bangkit menuju ke dapur dan kala melewatiku ia sempat melihat judul bacaanku "Kisah Kepahlawanan." "Nak, kemari ikut ayah sebentar. Bantu ayah." Saya segera menghampiri, dan langsung disambut permintaan ayah: "Nak, tolong belah kayu masak ya dan nanti tolong bersihkan kandang kerbau. Ayah mau ke kebun." "Ayah, ngak mau. Capeeeeeekkkk." Ayah melihatku dan tersenyum penuh makna, yang kini juga membuatku tersenyum kala mengingatnya. *Untuk Ayah tercinta. Dari anakmu yang masih disini, di dunia yang terus saja kokoh dengan takdir keberagamannya. Insya Allah kita akan berkumpul di tempat yang seragam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H