Kecuali pemerintah, nyaris semua orang menjadi lega kala tokoh lintas agama menyatakan kebenaran dengan lantang tentang 18 kebohongan Pemerintahan Sby.
Dan, perlombaan pemberian dukungan pun diunjukkan dengan cara masing-masing khususnya saat pihak pemerintah menujukkan sikap depensif dan reaktifnya, termasuk dalam dialog yang oleh Sby disebut dengan mengembangkan budaya saling mendengar. "Kami lebih suka dibilang masih banyak gagal daripada dituduh berbohong." Dan "ini data-data kemajuan yang sudah kami capai ditengah kerja keras yang masih terus harus kami lakukan guna menyempurnakan yang masih kurang baik."
Sampai sejauh ini publik tampaknya masih senang dan terus bersemangat ketika menyadari masih ada tokoh lintas agama yang menyuarakan kebenaran. Momentum ini yang kemudian dipakai oleh kalangan lain untuk menjadikan 2011 sebagai tahun melawan kebohongan. Publik sepertinya merasa sudah sangat lama para tokoh lintas agama diam dan lebih memihak penguasa. Publik juga senang karena pada akhirnya ulama bersedia turun gunung untuk berdiri di garis paling depan menyuarakan kebenaran dan pasti akan diikuti oleh kalangan lainnya.
Kecuali pemerintah, tokoh lintas agama pun lega hati karena sudah menyatakan apa yang sudah lama diprihatinkan bersama dan terharu kala melihat "banjir dukungan" dari banyak pihak. Ibarat orang-orang yang baru selamat dari musibah para tokoh lintas agama langsung mengucapkan alhamdulillah, puji tuhan, dan ungkapan syukur lainnya karena sudah menyampaikan kebenaran. Bahwa kemudian dalam forum dialog dengan presiden terkesan tidak puas karena tidak menyentuh substansi tapi mereka tetap percaya bahwa dialog memiliki kekuatan yang penting untuk terus dilakukan.
Sedikit sekali orang-orang yang dengan hati tetap tenang dan terjaga melihat ini sebagai gejala puncak yang justru sedang menegaskan kegagalan para tokoh lintas agama dalam mengembangkan tradisi kepemimpinan profetik berbasis "jalan tengah."
Para tokoh lintas agama seperti sedang kehilangan kesabarannya untuk menjadi tokoh-tokoh yang konsern dengan "jalan tengah" sehingga harus kembali ke jalur "jalan kiri" setelah pilihan "jalan kanan" mendapat kritikan cukup lama dari umat.
Bisa jadi ini fakta lain yang sedang menjelaskan bahwa peran dan posisi tokoh lintas agama yang selama ini lebih banyak stagnan di gerak retorik dan wacana sudah tergeser oleh para motivator yang kini terus mendulang banyak pengikutnya, misalnya Mario Teguh. Sebaliknya, ummat beragama justru semakin menunjukkan "kebosanan"nya kepada cara dan gaya tokoh-tokoh lintas agama yang juga sama retoriknya dengan penguasa dalam mensikapi masalah umat.
Untuk situasi ini, kalau tidak salah, Gus Dur pernah memberi humor sindiran kepada tokoh-tokoh agama, yang justru tidak bisa segera masuk surga dibanding supir bus. Kenapa? Itu karena umat mengalami kantuk kala di mesjid atau geraja sementara di bus para penumpang justru memanjatkan doa.
Sementara para tokoh lintas agama kembali ke "jalan kiri" untuk ikut ambil bagian dalam prakarsa melawan rezim kebohongan para kaum motivator justru sedang melakukan proyek mengubah dunia melalui kegiatan mengubah diri sendiri, melihat dunia lewat kacamata apresiatif, dan mengubah bahasa percakapan agar lebih positif, membangun suasana hati gembira untuk mendorong munculnya kreatifitas, inovasi, atau prakarsa-prakarsa yang menguntungkan semua.
Sementara para tokoh lintas agama kembali pada pendekatan "otak kiri" dengan menjadikan 18 kebohongan sebagai titik tolak (pendekatan masalah) maka kaum motivator justru terus mengembangkan "otak kanan" melalui pendekatan apresiatif untuk membuka ruang hati dan jiwa agar tetap menjadi diri yang hidup meski ditengah himpitan ragam tantangan. Mereka percaya ada lebih banyak kisah sukses yang bisa menginspirasi diri dan orang banyak guna meraih mimpi masa depan yang lebih baik dan dasyat. Mereka percaya apa yang sejak awal dipercaya oleh agamawan bahwa manusia adalah makhluk sempurna yang memiliki kekuatan untuk dikembangan jika titik-titik kehidupan yang ada ditubuh dan jiwanya dihidupkan kembali.
Mengapa jalan dan bahasa profetik kini justru diambil alih oleh kaum motivator dengan misi mengubah dunia sementara tokoh lintas agama justru kembali ke "jalan kiri" dengan bahasa pergerakan dan pembebasannya untuk misi melawan rezim bohong?
Saleum
Rismanaceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H