Mohon tunggu...
Risman Aceh
Risman Aceh Mohon Tunggu... profesional -

Anak Pantai Barat Selatan Aceh. @atjeh01

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jusuf Kalla, Prabowo dan HAM

10 Juni 2014   22:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:22 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Salah satu kendala penuntasan masalah HAM adalah tidak adanya pemimpin yang mau bertanggungjawab." (Risman A. Rachman)
Saya, salah satu yang berharap kedua kandidat mau membahas soal HAM dalam debat Pilpres 2014 semalam. Beruntung Jusuf Kalla mengajukan pertanyaan seputar HAM kepada Prabowo. Saya sangat berharap presiden 2014-2019 mau menjadikan agenda penuntasan pelanggaran HAM agar prosesi suksesi nasional tidak lagi dibanjiri isu pelanggaran HAM yang hanya terangkat dan liar di musim Pilpres. 
Sayangnya, begitu Jusuf Kalla mengajukan pertanyaan soal HAM para pendukungnya serentak berteriak dan bertepuk tangan. Kesannya, mereka sedang menjadikan pertanyaan itu sebagai "pembantaian" dan berharap sekali Prabowo akan mati kutu, kebingungan, dan emosi tinggi. Mestinya, mereka juga berharap hal yang sama agar Prabowo-Hatta mau mengajukan hal yang sama, sehingga rakyat tahu mana yang lebih bisa diharapkan dapat menuntaskan persoalan HAM secara hukum. 
Selama ini, hukum menjadi tumpul ke atas dan tajam ke bawah bukan semata karena lemahnya "ayat-ayat hukum" dan kelembagaan serta kepemimpinan di lembaga hukum. Kita tidak berdaya dalam penuntasan masalah secara hukum karena semua persoalan hukum berat diselesaikan secara politik. Dengan kata lain, politiklah yang menjadi panglima, bukan hukum.  Mata mereka seperti telanjuk tangan, yang diarahkan kepada Prabowo. Mereka lupa, ada tiga jari lagi yang sedang mengarah ke diri sendiri. Mestinya mereka malu pada hati karena ditengah-tengah mereka juga ada orang yang bisa jadi masih lebih bersalah dari Prabowo.  Mengapa mereka bisa ramah dengan orang yang oleh publik juga kerap di duga sebagai terduga namun bisa sangat marah kepada orang lain? Jawaban singkatnya adalah politik. 
Mengapa itu semua terjadi? Jawabannya karena pemimpin di Indonesia tidak kuat (jati dirinya) alias tidak mau mengambil atau bersedia bertanggungjawab. Andai pemimpin di semua level memiliki jiwa bertanggungjawab maka penegakan hukum lebih mudah dilaksanakan. Tentu jiwa bertanggungjawab itu tidak harus kebablasan sampai harus bunuh diri seperti di Jepang. Bertanggungjawab adalah kesediaan untuk jujur di hadapan hukum dan bersedia menanggung semua resiko semata karena jiwa tanggungjawab yang melekat pada dirinya sebagai pemimpin. 
Tentu saja jiwa tanggungjawab ini wajib dilakukan dihadapan hukum. Tidak boleh diluar hukum, apalagi atas dasar tekanan masyarakat, tekanan politik, apalagi tekanan asing. Hukum Indonesia harus berdaulat penuh atas anak negerinya dan itu baru terjadi bila pada pemimpin melekat jiwa tanggungjawab yang murni. 
Inilah yang sangat langka di Indonesia. Banyak sekali kita temukan pemimpin yang sangat kuat dalam mengelak dari tanggungjawab apalagi bila tanggungjawab itu sampai merusak karirnya. Sebisa mungkin dielaknya dan bila perlu dilakukan tindakan-tindakan yang dapat membebaskannya. Misalnya lewat mencari orang yang bisa dijadikan kambing hitam. 
Bisa jadi ini semua karena pemimpin di Indonesia menganut rumus kepemimpinan dua pasal. Pasal 1: bos tidak pernah bersalah. Pasal 2: bila bos bersalah kembali ke pasal 1.  Rumus ini meski dijadikan sebatas lelucon tapi terbukti dipraktekkan dalam praktek-praktek yang akhirnya berujung pada maraknya pemimpin tidak pernah bersalah. Bahkan, dugaan yang terus liar berkembang di masyarakat  seperti disengaja agar dapat terus dipakai dalam suksesi kepemimpinan nasional. Selebihnya, di luar musim Pilpres isu pelanggaran HAM tidak dipakai dengan penuh semangat. 
"Pemimpin Gila"Saya sebenarnya sudah menemukan rumus kepemimpinan yang bisa lebih diharapkan dapat memaksa para pemimpin khususnya di level nasional mau bertanggungjawab. Rumus itu ditegaskan oleh Prabowo dan diulang kembali oleh Jusuf Kalla saat mengajukan pertanyaan kepada Prabowo. Rumus itu juga pernah saya baca pada tulisan "serdadu tua" Prayitno Ramelan, yaitu "anak buah tidak bersalah, pemimpinlah yang bersalah."
Menurut saya, itu rumus "pemimpin gila" khususnya bila dilihat dari rumus kepemimpinan dua pasal di atas. Luar biasanya, rumus pemimpin ini sudah pernah dijalani oleh Prabowo. Gila, bagaimana mungkin seorang serdadu yang sangat cemerlang dalam usia yang masih sangat muda mau "menyembelih" karirnya sendiri. Padahal, bila saja Prabowo mau menjadi prajurit manis, atau menghindar dari situasi kacau ibukota, atau cerdik sedikit agar bisa pergi ke luar negeri dengan alasan berobat, atau merayu istrinya agar mertuanya tidak melibatkannya dalam operasi yang sangat mungkin "buta" sudah pasti Prabowo terselamatkan. 
Aneh, Prabowo justru jujur dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh DKP dan mau pula melakukan "harakiri karir" dengan bersedia diberhentikan atau pensiun sebelum waktunya. Mengapa Prabowo tidak membayangkan masa depan yang lebih hebat dengan jejak karirnya yang cemerlang sehingga bisa mengambil langkah-langkah yang dapat menyelamatkan karirnya di militer. Aneh bin gila!
Saya membaca semua dampak negatif yang terus menerus melekat kepada dirinya, hingga sampai saat ini. Ini orang manusia terbuat dari apa sehingga mampu menanggung "pembantaian karakter" yang berlangsung secara terus menerus. Apa sih ajian yang dimilikinya sehingga ia begitu sabar menerima semua ujian yang maha berat ini? 
Saya tidak menemukan jawaban lain, selain jawaban jiwa tanggungjawab. Prabowo, bagi saya adalah prajurit Indonesia yang beristrikan Ibu Pertiwi dan beranak putra-putri Indonesia Raya. Inilah ajian sakti yang dimiliki oleh Prabowo yang dalam Pilpres ini mengusung slogan selamatkan Indonesia. 
Berbeda sangat dengan pemimpin serdadu atau pemimpin lainnya. Mereka sangat ahli dalam memakai jurus elak, bahkan tanpa rasa malu menuduh atau membiarkan tuduhan terus melilit diri Prabowo padahal di musim Pilpres yang lalu mereka bisa sangat mesra.  Ada juga yang dengan wajah tanpa dosa seakan memang benar sama sekali tidak memiliki andil dalam ragam kemelut politik, hukum, dan kebijakan di negeri ini seperti kasus centuri misalnya sehingga dengan wajah suci menohok pihak lawan. 
Kita malu! Tapi kita semua memang membutuhkan "pemimpin gila" yang sudah dibunuh berkali-kali karakternya tapi juga tudak mati-mati. Mengapa? Karena hanya "pemimpin gila" yang siap menyeret semua pemimpin yang hari ini sangat bermewah-mewah dengan proyek pembangunan untuk dipaksa bertanggungjawab. Saya berharap, sang "pemimpin gila" itu usai menyeret semua untuk bertanggungjawab atas praduga yang berkembang, juga mau menyeret dirinya sendiri dihadapan hukum meski itu dilakukan terakhir. 
"Prabowo, sediakan satu peti kebenaran hukum untukmu sendiri. Dan bila hukum memutuskan dirimu bersalah kau bisa masuk ke peti kebenaran hukum yang kau buat sendiri, Ingat, dirimu adalah prajurit sejati. Setinggi apapun puncak gunung yang pernah kau daki, belum tinggi bila dirimu belum mendaki puncak kebenaran hukum. Pancangkan bendera merah putih di puncak kedaulatan hukum Indonesia. Barulah kau disebut Prajurit Indonesia Raya." 
Risman  A. RachmanTinggal di Banda Aceh

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun