"Maafkan daku duhai langit|Ini catatan terakhirku|yg kutulis di dinding awan putihmu|Jika aku tak kembali|jangan cari aku di samudera|tapi ikuti saja jejak ku di kaki senja|atau kala pagi tiba|Jika kau ingin menyapaku|cukup kau sentuh angin|karena aku ada di kesunyian hatimu|Atau, cukup tatap rembulan|karena aku ada di kegelapan jiwamu|dengan harva cinta aku akan berjalan di takdirku|JALAN SUNYI." Malam ini Romi benar-benar sendiri di kamar. Sebuah buku disentuhnya pelan. Buku catatan harian yang merekam jejak cintanya dari waktu ke waktu. Sesekali asap rokok menemani tarikan nafasnya yang berat. Ada rasa sesak terbaca di asap yang menggepul. Ada rasa pilu menggelinjang bersama tarian angin yang dibuai hembusan kipas tua. Ada tatapan kosong yang melekat di dinding kamar yang usang. Cicak tidak bergerak sekalipun nyamuk merayu di depan mata. Suasana dingin hati Romi mengubah kamar yang ceria menjadi kuburan sunyi penuh misteri. Romi membuka catatan harian yang sedari tadi hanya bisa dielusnya. Halaman terakhir. Masih kosong. Belum ada catatan. Sedari dulu Romi memang berusaha untuk tidak menulis. Kalau pun ada yang ingin ia tulis tentu saja satu kalimat cinta berikut: "akhirnya aku bisa mencium keningmu kekasih dan itu lah tali pengikat hati dan gerak cinta diantara kita, selamanya." Romi kembali merapatkan rokok ke bibirnya yang mulai kering dan retak. Sekali isapan sekali kenangan indah terkenang di ruang imajinasinya. Ada keindahan yang membangkitkan rasa kala ia bertemu dengan cinta yang dicarinya selama ini. Padahal sebelumnya Romi sudah pernah menulis sejumlah catatan takdir yang menyakinkannya kalau takdirnya sudah jelas, yakni jalan sunyi. Romi membuka kembali catatan takdir datu demi satu dan dibacanya setiap kali menghembuskan gupalan asap dari mulut dan hidungnya: "Di Takdir Jalan Sunyi ini aku tergulung gelombang rindu dan sungguh tak kuasa mencari tepi karena dasyatnya arus kasih sayangmu." "Awalnya, ku ingin memiliki krn mencintai. Akhirnya, ku mencintai tanpa mesti memiliki. Terimakasih Cinta" "Duhai... Jalan Sunyi ini begitu gelap. Tapi aku telah memilih takdir ku untuk melewati jalan sunyi ini, walau tanpa dirimu...Aku yakin, kau akan menemuiku di ujung perjalanan --nafas terakhirku. Aku berharap hatimu damai mhadapi getirnya perjalanan ini. Dari tikungan jalan sunyi ini aku berpasrah hati." "Aku pergi, tapi hati dan cinta ku tak kan pernah beranjak dari hatimu, walau cuma selangkah." Romi tersadar oleh lima catatan yang ia namakan sebagai ayat-ayat cinta. Ternyata memang takdirnya sudah jelas. Tidak ada cinta yang ia cari dan tidak akan dicari oleh cinta yang ada. Semua takdir hidupnya sudah jelas terbaca dan itu ditulis oleh tangannya sendiri. Sebuah pertanyaan tiba-tiba menyelinap dalam hatinya. "Mengapa halaman terkakhir buku catatannya kosong?" Mestinya dihalaman terkahir itulah "ayat-ayat penutup itu ada." Romi mencoba menemukan jawaban di hatinya sendiri dan menemukan rangkaian makna yang memungkinkan dirinya bisa menuliskan catatan penutup di halaman terakhir Buka Catatan Harian Romi. Tidak ada huruf, kata, apalagi kalimat. Semua ingatan Romi kembali lagi ke ayat-ayat yang ada. Dan semakin ia berusaha untuk merangkai dan berharap dapat menemukan bentuk takdirnya yang baru semakin ia gagal menemukan kalimat yang tepat. Anehnya, yang hadir adalah sebuah bayangan wajah. Wajah yang selama ini mengisi ruang hatinya. Sebuah wajah yang begitu ingin ia kecup keningnya. Sebuah wajah yang begitu ingin ia belai rambutnya. Dan sebuah wajah yang sempat membuat ia melupakan takdir jalan sunyi. Bayangan itulah yang akhirnya membuat jemari Romi tergerak menulis sebuah kalimat penutup buku hariannya: "Akhirnya, ku tutup jua buku gelombang ini setelah ombak tak lagi menyentuh ujung kaki yang mencari jejak hati walau di langit masih ku harap menemukan bayang-bayang kerinduan. Aku ingin rebahkan hati agar lelah tak sangat menusuk sukma." Kalimat inilah yang kemudian membimbing Romi melukis sesosok wajah yang ternyata wajahnya sendiri. Wajah yang dilukis oleh yang disebutnya kekasih jiwa. Kekasih yang hanya bisa dicintainya dalam diam. Kekasih yang hanya bisa disayanginya dalam kenangan. Dan kekasih yang hanya bisa dihadirkannya dalam mimpi-mimpi panjang. Disudut kanan bawah tidak lupa sebuah ungkapan disematkan sebagai kalimat pertanda akhir kisah cinta, akhir cerita, dan akhir pertemuan dan akhir sapaan: "Maafkan daku duhai langit|Ini catatan terakhirku|yg kutulis di dinding awan putihmu|Jika aku tak kembali|jangan cari aku di samudera|tapi ikuti saja jejak ku di kaki senja|atau kala pagi tiba|Jika kau ingin menyapaku|cukup kau sentuh angin|karena aku ada di kesunyian hatimu|Atau, cukup tatap rembulan|karena aku ada di kegelapan jiwamu|dengan harva cinta aku akan berjalan di takdirku|JALAN SUNYI." "Sungguh, namamu ada di catatan tanpa halaman hatiku."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H