[caption id="attachment_264288" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: ressay.wordpress.com"][/caption] HISAB 04| "Ambillah. Selimuti hatimu dengan cadar ini. Aku harus pergi dari pandanganmu. Cadar ini menjadi saksi kalau memang aku pernah mencintaimu. Maaf, aku lebih memilih untuk berjalan di atas keyakinanku. Selamat tinggal." Tiga tahun sudah berlalu. Tapi samudera yang menghadap ke Penang, Malaysia belum juga berubah. Juga gelombang yang dulu menjadi saksi kesedihan sebuah perpisahan. Malek masih menyimpan cadar dari perempuan yang dulu membuatnya jatuh cinta pada pandangan-pandangan moderatnya tentang agama. Setiap kali Malek kembali ke pantai ini cadar perempuan itu selalu dia bawa. Tapi, cadar itu juga yang menjadi tanda perpisahan pandangan antara Malek dan Saiza Malaika Dewi, yang oleh Malek dipanggil Sa, dalam soal hidup dalam kaitannya dengan pandangan-pandangan keagamaan. Malek masih ingat ketika Sa mengabarinya untuk memakai cadar sebagai kesatuan dari pakaian kewanitaannya sebagai muslimah dan sekaligus mengabari maksudnya untuk membatasi pergaulan dalam batasan yang menurutnya agar terhindar dari fitnah dan godaan syetan. Malek juga masih ingat detik-detik perpisahan yang disaksikan gelombang. Ia betul-betul kehilangan kata dan sekaligus kehilangan bahasa untuk berhujjah. Bukan karena Malek tidak paham akan dalil agama. Tapi mata kekasihnya sungguh tidak sedang menyatakan pilihan akan keyakinannya melainkan terbaca gundah yang tiada terkira apa gerangan. Saat itu, Malek merasa seperti berada di sebuah pengadilan dan sedang khitmat mendengar putusan yang dibacakan hakim atas perbuatan yang tiada dilakukannya. Dan saat Malek mengulur tangannya untuk menerima cadar berwarna hitam dari tangan Sa ia merasa bagai menerima salinan putusan hakim tanpa mampu mengatakan keinginannya untuk naik banding. Baru ia tersadar ketika sosok yang sudah dikenalinya dari SMP itu berlalu jauh dari hadapannya. Sejak itu, setiap kali melihat tanyangan TV tentang teroris, apalagi jika ada liputan yang menyertakan perempuan bercadar hati Malek senantiasa berharap agar tidak ada dari mereka yang bernama Saiza Malaika Dewi, atau Sa. Sa memang berasal dari keluarga yang religius. Abinya adalah ustad yang mengajari anak-anak dikampung mengaji dan menghapal al-quran. Sedangkan Sa adalah mahasiswi IAIN dan aktif dalam kelompok pengajian sekaligus aktif sebagai aktivis yang menyuarakan pentingnya kekhalifahan. Malek dan Sa menjadi dekat dan akhirnya jatuh hati karena sering bertemu dalam diskusi-diskusi keagamaan. Meski mereka kerap berdebat namun keduanya adalah sosok yang moderat dalam hujjah keagamaan. Perbedaan tajam diantara mereka baru terjadi dua minggu sebelum perpisahan terjadi. Salah satu perbedaan yang sangat kentara adalah kala diskusi soal kepemimpinan Islam dan relasi politik umat Islam dalam kaitannya dengan penerapan hukum Islam. Keduanya sangat kentara berbeda. Bahkan bagai langit dan bumi. Namun begitu, keduanya masih menjadi sosok yang saling toleran dalam perbedaan pandangan. Malek masih ingat debat terakhir mereka yang akhirnya memperjelas sikap beda dirinya dengan Sa bahwa umat Islam saat ini bukan lagi berada pada tahap hanya berdakwah bil lisan saja melainkan sudah wajib untuk berjuang dengan jihad untuk memastikan tegaknya hukum Islam. "Saat ini fitnah sudah bagai srigala yang siap menerkam umat Islam dan hanya dengan ketegasan, kekhasan, dan perjuanganlah kita semua bisa menjaga kesucian agama kita." Hujjah penutup yang disampaikan Sa itu juga yang membuat Malek tidak bisa lagi menyampaikan apa yang diketahuinya karena Sa hendak pergi yang katanya mau memperdalam ilmu agama sekaligus melakukan perjalanan dakwah bersama kelompok pengajiannya. Sejak awal ramadhan itu Malek tidak pernah lagi bisa bertemu dan menjalin komunikasi dengan Sa. Baru pada hari raya ketiga, di samudera yang menghadap negeri Malaya, yang berakhir dengan pemberian cadar, menjadi pertemuan yang akhirnya memisahkan mereka secara pandangan dan juga jarak, hingga berlalu tiga tahun lamanya. Ternyata, apa yang ditakutkan Malek sudah mulai berbuah. Kekerasan dalam menerapkan agama, yang oleh teman-temannya disebut ketegasan, atau yang oleh negara disebut terorisme. Malek masih ingat kala ia mengingatkan Sa agar tidak berlebihan dalam menerapkan agama. Termasuk dalam hal berpakaian meski Malek sendiri tidak ingin melarang apalagi mencela sesuatu yang sudah menjadi pilihan. "Sa, cadar itu adalah sikap berlebihan dalam menjalankan agama. Ikuti saja standar Tuhan karena Tuhan menjadikan agama tidak untuk menyulitkan umatnya." Saat itu, meski Sa tidak mendebat dengan keras tapi Malek tahu kalau Sa tidak sepakat dengannya. Buktinya, cadar itulah yang menjadi simbol baik pilihan keyakinan dan pandangan sekaligus tanda yang memisahkan mereka. "Sa. Kamu dimana?!" Malek mencoba menarik nafas dan kembali menyimak warta perburuan terorisme yang diduga terlibat dalam aksi perampokan bank. "Innalillahi wainna lillahi rajiun" Hati Malek tersayat kala mendengar ada korban tewas dalam aksi tembak menembak antara Densus 88 dengan mereka yang di duga jaringan terorisme. Rasanya Malek ingin memutar jarum jam agar ia bisa mengumandangkan suara yang lebih tegas agar tidak berlebihan dalam menegakkan agama. Bagi Malek, berdasarkan apa yang dipelajarinya, sesuatu yang sudah berlebihan hanya akan melahirkan sikap eklusif yang pada akhirnya melahirkan sikap dan tindakan yang berlebihan pula dalam mensikapi keadaan, termasuk kedirian. Dan bagi Malek, cadar bisa menjadi sebuah pertanda bagaimana keadaan akan disikapi dan kejadian-kejadian apa yang bakal mungkin terjadi. Padahal, menurut Malek, Allah telah meniadakan kesulitan, kesukaran, dan kemelaratan dalam melaksanakan agama-Nya, bahkan ditegakkan-Nya agama-Nya itu diatas dasar kelapangan, kemudahan, keringanan, dan rahmat kasih sayang. Malek teringat kalau Allah berfirman: "... dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ..." (al-Hajj: 78) "... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (al-Baqarah: 185) "...Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28) Malek juga teringat kalau Rasulullah saw. bersabda: "Aku diutus dengan membawa agama yang lembut dan lapang (toleran). ,' (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya) Ayat dan hadist itu, menurut yang ditemukan Malek dari Yusuf Qardawi bermaksud, lurus dalam aqidahnya dan lapang dalam hukum-hukumnya. Masih menurut Dr Yusuf Qardawi, sebagaimana yang dibaca oleh Malek, bahwa para fuqaha juga telah menetapkan dalam kaidahnya: "Kesukaran itu menarik kemudahan." Menurut Qardawi, Nabi saw. telah menyuruh kita untuk memberikan kemudahan dan jangan memberikan kesukaran, memberikan kegembiraan dan jangan menjadikan orang lari. Kita ditampilkan untuk memberi kemudahan bukan untuk memberi kesulitan. Karena itu setiap kali Malek menatap layar kaca yang sedang menayangkan beberapa perempuan bercadar dia senantiasa mencoba mengenali tapi selalu gagal karena tidak ada yang kelihatan untuk bisa dijadikan tanda. Semuanya tertutup. Akhirnya Malek mencoba mengerahkan kemampuan batinnya untuk mencari tahu dengan rasa cinta yang ia miliki dan sambil bermunajad kepada Allah Malek menuntun hatinya untuk mendeteksi keberadaan orang yang dicintainya. Tapi gagal. Malek merasa hatinya belum cukup menjadi sumber pengetahuan yang bisa membuka hijab, minimal untuk merasakan keberadaan Sa. Keadaan diri dan hati itulah yang kemudian menuntun Malek untuk belajar kesufian pada seorang ulama di Tiro, Aceh. Ia ingin lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan hatinya. Meski masa beajarnya sudah berlalu tiga tahun berlalu tapi ketika Malek kembali ke pantai yang sama ia juga tidak menemui sosok yang masih melekat di hatinya. Akhirnya, Malek memutuskan untuk meninggalkan pantai yang telah mengaduk-aduk perasaannya. Dengan menggenggam pasir ia melempar ke laut sambil berkata dengan keras: "Saaaa, aku mencintaimu..." "Malek, ini ada surat untukmu. Sepertinya penting," ujar Amir sambil tersenyum usai menyerahkan kepada Malek. Di kamar Malek membuka surat tanpa nama pengirim dan darahnya langsung berdesir ketika tahu pengirimnya adalah Saiza Malaika Dewi. "Subhanallah. Alhamdulillah." Pelan tapi pasti Malek membaca setiap huruf yang ada dengan perasaan campur aduk. Tapi ia bahagia karena mendapat kabar baik tentang keberadaan Sa yang ternyata sedang kuliah di Kairo setelah keluarga mereka memilih pindah ke Singapor. Lebih senang lagi ketika ia membaca pandangan Sa yang sudah kembali moderat, termasuk alasannya yang tetap memilih memakai cadar hanya untuk memastikan ia terjaga dari fitnah berhubung ia belum memiliki muhrim untuk menjaganya. Jadi sama sekali bukan dalam rangka mengikuti jejak mereka yang melebih-lebihkan urusan yang sudah ditetapkan oleh Allah melalui agama. Sa juga mengabarkan kalau ia dan keluarganya akan kembali lagi ke Aceh. Bukan itu saja yang membuat Malek bahagia. Ternyata, Sa tidak menyembunyikan suara hatinya. Jelas terbaca dari suratnya kalimat tegas yang menyatakan kalau dirinya mencintai Malek dan masih terus ada di hatinya, sampai saat ia menulis surat yang baru saja usai dibaca oleh Malek. *** "Abi.... Itu ada tamu di Serambi. Katanya tamu Abi dari Pendopo Gubernur. Sana temuian tamunya. Jangan merenung saja." "Duhh, Sa istriku yang pipinya kemerah-merahan. Alis mata bercelak hitam. Jari manis berhias cincin cinta kenangan. Abi baru saja mengenang kisah cinta kita. Sini, Abi rindu. Abi kangen. Abi mau......" "Duhhh Abi....Itu ada tamu. Sana pergi dulu, temui tamu." "Sebentar lagi. Biar tamunya ditemani murid Abi dulu. Sini sayang, dekat Abi. Abi kangen. Abi......" "Abiiiiii....!!!" Saleum Kompasiana Risman A Rachman Baca juga: HISAB 01 di sini HISAB 02 di sini HISAB 03 di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H