Mohon tunggu...
Risman Aceh
Risman Aceh Mohon Tunggu... profesional -

Anak Pantai Barat Selatan Aceh. @atjeh01

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Atas Nama Cinta Mari Tinggalkan Kekerasan

24 April 2010   13:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_125932" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi dari photobucket.com melalui google unduh"][/caption] Apa perasaan yang paling pas untuk ditunjukkan kala menemukan berbagai fakta yang berakhir dengan caci maki, penyerbuan, penyerangan, pemukulan, penghinaan, saling buka aib, dan berbagai tindak kekerasan lainnya? Baik secara fisik maupun secara nonfisik? Pasti akan sangat beragam jawabannya. Dan, dasyatnya semua jawaban bisa dihadirkan 1001 pembenaran sekaligus juga 1001 pasukan pendukungnya. Israel yang banyak diklaim bersalah oleh banyak negara-negara Islam misalnya tetap memiliki pendukung dari berbagai negara lainnya. Sebaliknya, Palestina yang dibela mati-matian bahkan oleh berbagai negara juga ada yang membencinya. Itu ditingkat negara atau antar negara. Di dalam negara juga sama. Atasnama tugas negara Satpol PP misalnya rela beradu fisik dengan anggota masyarakat yang notabene adalah warga negara. Sebaliknya, atasnama sakralitas-ritualitas-sejarah penduduk Koja siap mati mempertahankan Makam Mbah Priok walau yang dihadapi adalah aparat yang diberi tugas oleh negara melalui undang-undang atau peraturan. Kita tentu bisa merunut secara vertikal maupun horizontal hingga zig zag kasus-kasus yang berakhir pada kebencian, kekerasan dan penghancuran bahkan hingga ke tingkat antar diri (sahabat dan kerabat) dan juga dengan diri sendiri. Kita bisa menjadi si pemarah dan si pembenci sahabat, kerabat dan diri sendiri dan malah sampai ada yang memilih membenci sahabat, meninggalkan kerabat bahkan hingga ada yang siap memilih jalan menyakiti diri sendiri dan bunuh diri. Bukan hanya antar negara, negara dengan rakyatnya, rakyat dengan rakyat, dan diri dengan diri (sahabat dan kerabat) serta dengan diri sendiri saja. Agama pun, baik yang diyakini berasal dari Tuhan yang dipanggil dengan nama Allah atau Tuhan yang dipanggil dengan nama selain Allah juga tidakluput dari pendukung dan penentang bahkan hingga pada tingkat yang paling ekstrim. Terlalu banyak kasus atas nama agama yang harus berakhir dengan kebencian, perseteruan, perpecahan, penghancuran, dan pemisahan yang memendam kebencian secara turun temurun yang terus tumbuh walau sejumlah generasi sudah berakhir. Sekali lagi, apa perasaan yang paling pas untuk ditunjukkan kala menemukan berbagai fakta yang berakhir dengan caci maki, penyerbuan, penyerangan, pemukulan, penghinaan, saling buka aib dan berbagai tindak kekerasan lainnya? Baik secara fisik maupun secara nonfisik? Pasti akan sangat beragam jawabannya. Dan, dasyatnya semua jawaban bisa dihadirkan 1001 pembenaran sekaligus juga 1001 pasukan pendukungnya. Semua siap menunjukkan fakta. Semua siap merangkai kata menjadi logika. Semua siap dengan saksi dan pendukung, Semua siap menunjukkan dalil baik yang masuk akal maupun yang gaib. Bahkan, siap dengan keyakinan dan kekuatan. Semua  untuk pembenaran atas tindakan yang bisa dikatagorikan sebagai kekerasan, fisik ataupun nonfisik. Harga diri, citra diri, idiologi, aturan, keyakinan, pikiran, perasaan adalah beberapa alasan yang kerap dipakai sebagai pembenar untuk mensahkan tindakan kekerasan. Benarkah semua alasan ini bisa menjadi pembenar bagi tindakan kekerasan? Jawabannya pasti benar dan 1001 alasan pembenar bisa dihadirkan. Kapan semuanya baru disadari bahwa tiada kehormatan dan kemenangan dibalik segenap tindakan kekerasan? Jawabnya kala masa korban berjatuhan, kala masa damai hati menyergap jiwa, kala masa lelah pikiran menyerbu rasa, kala masa sunyi menyendirikan diri, kala masa kelopak mata menghadirkan gelap, kala masa pikiran menghadirkan renungan terdalam, kala mata melihat jasad kaku karena jiwa telah kembali kepadanya, dan kala huruf-huruf kita ketik tentang indahnya masa kenangan yang diwarnai cinta dan kasih dalam diri, dalam jalinan persahabatan, dan dalam nuansa persaudaraan. Saat itulah kita baru menyadari betapa indahnya diri yang sadar dan hanif. Betapa indahnya orang lain yang dulu pernah kita panggil sahabat, teman, saudaraku. Betapa hebatnya mereka yang pernah kita sapa dengan kekasih, cinta, istriku, suamiku, anakku, ibuku, ayahku, kakanda, adinda, saudara tua, saudara muda, dan sebagainya. Inilah saat dimana kita siap menafikan segenap perbedaan. Kita siap seiring sejalan walau disadari ada banyak perbedaan diantara kita. Semua terlebur dalam kekuatan cinta, kasih, yang diekpresikan dalam berbagai ruang kehidupan apakah yang kita sebut dengan aku, teman, kerabat, saudara, sekampung, sekelompok, semarga, senegara, seagama, bahkan sebumi. Sungguh, atas nama cinta mari tinggalkan kekerasan sebelum kita hanya bisa merenung dan termenung akan indahnya saling menyayangi, mengasihi, dan mencintai. Saleum Serambi Cinta Rismanaceh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun