[caption id="attachment_48232" align="alignright" width="240" caption="dr Imelda Dok Liany (Kompasiana)"][/caption] "Jika sekiranya langit menyediakan seutas tali, aku akan memakainya untuk berjumpa denganmu, untuk satu hal, menyalaminya sebagai hormatku padamu yang telah menjalankan tugas dengan penuh kasih sayang dan cinta di tanah Wamena, Papua."
Imelda Surat ini, aku tulis usai air mataku mengalir membasahi pipi. Pesan pengkabaran (via sms) yang kau kirim kepada Ibu, Liany yang hari ini aku baca di media online Kompasiana ini, telah membuat detak jantungku terasa berhenti. Sejenak, aku terkenang masa lalu negeriku, Aceh. Masa dimana kami hidup dalam suasana konflik yang sudah barang tentu juga penuh penderitaan. Tapi sungguh, aku gagal mencari persamaan penderitaan dengan penderitaan rakyat Wamena yang engkau gambarkan. Negeri yang sekarang menjadi tempatmu mengabdi jauh lebih menderita dari penderitaan yang kami alami dan rasakan. Karena itulah mengapa aku tidak kuat untuk menahan air mata. Bukan karena membaca cara mu yang kocak dalam menghibur hati sang ibu agar ia tidak terlalu kuatir dengan keselamatanmu disana. Sungguh untuk yang ini aku mendukungmu karena minimal aku tahu psikologi negeri konflik. Meski konflik sekejam harimau ia tidak akan menerkam anaknya sendiri jika tidak ada rekayasa yang dilakukan untuk itu. Namun, ibumu juga tidak salah. Di negeri konflik kadang siasat jauh lebih utama dari sebuah kepasrahaan terhadap takdir. Imelda Aku tidak kuat menahan air mata setelah tahu betapa ada banyak saudaraku yang walau pun tinggal di taman surga Papua namun masih saja ber-istana kepapaan dan menjalani hidupnya dengan cara-cara yang sama sekali tidak sehat. Pengkabaran mu itu sekaligus membuat ku malu dan memutuskan untuk menunda dulu mengucap syukur pada nikmat yang melingkupi diri dan negeriku, dan sebagai gantinya akau memilih untuk mengucap syukur kepada mereka yang disana, yang masih bisa gembira walau hanya karena berhasil mendapatkan cacing-cacing yang mereka kais dari kotoran sendiri, Â yang kemudian diperlihatkan padamu dan menyelipkan doa agar ada banyak orang yang tergerak hatinya untuk mau mengabdi dan berkerja disana, termasuk diriku sendiri yang sampai saat ini terus gagal menuju kesana walau sudah bebrapa kali dibuat rencana. Imelda, dari negeri konflik yang kini sudah damai, Aceh, aku ingin menulis sebuah syair yang dulu pernah ku tulis kala negeri ku berada dalam situasi hilang pengharapan akan konflik karena dari segala pintu dan jendela nyaris tidak kami temukan cahaya perdamaian. Puisi yang tidak pernah selesai ku tulis ini, walau pun pendek ingin kupersembahkan padamu sebagai bentuk hormatku padamu yang sudah memilih untuk bertugas di sana.
Langit Negeri Patah Tiang
Sungguh, kita tidak sedang berada di negeri
Tidak ada matahari juga rembulan
Kegelapan adalah teman
Penderitaan adalah kawan
Prasangka dan kemarahan adalah makan dan minuman
Sungguh
DImanakah ini?
Tiada Siang Tiada Pula Malam