Mohon tunggu...
Risman Aceh
Risman Aceh Mohon Tunggu... profesional -

Anak Pantai Barat Selatan Aceh. @atjeh01

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manuskrip Cinta

15 Januari 2010   05:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_54383" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi by google"][/caption] Tiba-tiba semua gelap, pagi tadi. Buku-buku yang tadinya terbuka, tertutup. Layar komputer yang tadinya menyala, mati. Dinding kamar yang tadinya penuh warna terang, berubah menjadi dinding gunung yang basah, dan kamar pun bagai sebuah jurang yang dalam, dan gelap. Tiba-tiba kesadaranku kosong. Dan, bagai ada sebuah tarikan maha dasyat aku terhempas ke jurang gunung tanpa tahu kapan akan menyentuh dasar. Gelap, tapi mataku bagai bersinar dan telapan tanganku bisa meraba dinding-dinding yang ada serta pikiranku mampu memahami pahatan-pahatan yang tertulis di dinding. Dengan mataku yang penuh sinar tajam aku bisa melihat gambar-gambar, dengan telapak tangan aku bisa meraba huruf-huruf dan dengan pikiran aku bisa menangkap makna-makna. Sepertinya aku sedang mengalami satu tarikan ke bawah yang melewati tingkatan demi tingkatan yang mengabarkan. Pada lintasan pertama aku dikejutkan pada gambar-gambar penuh amarah. Sangat kasar amarah yang tampak. Seperti sebuah gambaran masa lalu. Ungkapan-ungkapan kemarahan terlihat dari tubuh-tubuh yang penuh api, dan hawanya terasa begitu panas. Aku meraba kemarahan yang menimpa berbagai penduduk negeri di masa lalu, yang diungkapkan dengan penuh amarah. Aku menangkap makna bagaimana amarah telah menghancurkan generasi demi generasi. Pada lintasan kedua aku dikejutkan pada gambar-gambar masa kini yang juga masih penuh amarah. Meski tidak ada api yang keluar dari tubuh-tubuh tapi tetap saja menyembur dari mulut dan tangan-tangan. Ada ungkapan cinta dimana-mana tapi semua itu lebih sebagai legitimasi. Bahkan, cinta pun menjadi api yang membakar. Luar biasanya, ada banyak kemarahan terlegitimasi mulai dari legitimasi diri sendiri sampai legitimasi negara, dan bahkan agama. Tuhan menjadi pembenar yang tampak mengindahkan kemarahan namun makna yang ku temui tetap saja itu kemarahan. Pada lintasan ketiga aku melihat sebuah kebingungan yang sangat, dan hampir membuat frustasi para pribadi kebijaksanaan dalam pertarungan antara amarah dan cinta. Apakah cinta adalah amarah dan apakah amarah bisa diwujudkan dalam bentuk cinta. Aku juga melihat pemaknaan cinta yang sedang mengalami kebingungan. Simbol tanda tanya terlihat dimana-mana sebagai bentuk visual dari kegamangan dalam mengartikan cinta. Ada yang berhasil menaiki tangga cinta tapi tetap saja tertahan langkah karena iramanya yang tiada beraturan. Ada pula makna cinta yang tercampur nafsu. Sedikit sekali yang berhasil menangkap pentingnya cinta semesta dan semakin sedikit yang pahami cinta sebagai wujud tertinggi kedirian manusia. Cinta tiba-tiba bertukar dan berkejaran dengan nafsu dan sedikit sekali yang berhasil keluar dari lingkaran cinta yang tercerabut dari akarnya. Aku tersentak pada sebuah kesadaran kalau aku sudah menyentuh dasar. Suasana tiba-tiba menjadi sangat dingin. Ruangan tiba-tiba menjadi sangat terang benderang. Seperti ada sebuah energi pembangkit listrik yang maha dasyat terangnya menembus dinding-dinding gunung dan aku bisa melihat semua pemandangan yang belum pernah aku lihat selama ini. Hening dan selebihnya aku hanya bisa menatap tanpa suara, sebelum sebuah suara tiba-tiba membuatku panas seketika. "Siapa engkau?" Sebuah sapaan yang betul-betul mengejutkan jiwaku. Tapi aku tidak bisa menjawab. "Katakan, siapa engkau?" Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab. Aku hanya merasakan hawa panas menyergapku dan dengan sangat cepat aku mengalami kekosongan jiwa. Benar-benar kosong. Dalam kekosongan itulah aku meliat sebuah tehnologi visualisasi tercanggih menyala di sekelilingku. Semua dinding adalah televisi dan terkejutnya semua gambar dan teks serta suara adalah diriku sendiri. Aku melihat diri masa laluku yang penuh amarah. Badanku penuh api dan dimana-mana aku menyembur api kemarahan. Saking tidak kuatnya aku melihat diriku yang penuh amarah dan juga dosa yang disertai dengan cambukan aku menjerit dengan sekuat tenaga dalam satu suara, ampuuuuuuuuuuun dan keringat panas pun membasahi diriku mengalahkan rasa dingin ruangan. Aku lagi-lagi tidak bisa mengelak melihat pemandangan yang tervisual di segenap dinding yang ada, tentang diriku. Tentang diriku yang kebingungan dan hanya bisa diam melewati hari-hari. Di tubuhku penuh batu dengan ukuran besar yang membuatku bukan hanya diam tapi juga sesak. Aku adalah diri yang tiada bisa menentukan sikap, antara amarah, cinta, nafsu. Semua bercampur menjadi satu. Kadang amarah yang menguasai, kadang cinta mendominasi, kadang nafsu menggelora dan kadang ketiga-tiganya seperti sebuah roda yang satu. Chakra tubuhku tiba-tiba terbuka dan menyemburlah isyarat-isyarat diri yang bagai bintang yang berkedip, kadang juga berubah bagai matahari yang bersinar warna warni dan kadang pula bagai bulan yang dirindui. Tidak jarang muncul dari chakra ubun-ubunku sosok-sosok pencerah tapi satu hal tidak fokus. Semua itu bukan diriku tapi lebih bayang-bayang yang mejadi diriku sendiri. Tiba-tiba badan ku tergerak dan bagai ada yang membimbing aku sampai pada satu ruangan penuh cahaya warna warni dan tertataplah pada ku sebuah kotak bertulis Manuskrip Cinta. Dan, masih dengan kekuatan bimbingan aku akhirnya mampu membaca sebuah tulisan yang tidak pernah aku kenal selama hidupku. "Kamu adalah manusia bintang yang dipenuhi dengan cinta. Kamu berbicara dengan cinta, menulis dengan cinta, bersahabat dengan cinta, dan menegur dengan cinta untuk satu tujuan agar cinta kembali memancarkan sinarnya bagi kehidupan. Sungguh ini bukan kabar gembira tapi kabar pahit di tengah api amarah dan nafsu yang menggoda, dan hanya satu yang bisa menyelematkanmu yakni cinta. Seperti bintang, ia akan berguna jika menjadi petunjuk namun menjadi padam cahayanya jika engkau menghukum. Seperti bintang, ia akan bermanfaat jika menjadi penghibur diri-diri yang sedih, takut dan gelisah dan menjadi padam cahayanya bila ia menjadi sebab mereka menderita karena terjebak oleh kedipan rindumu. Cinta mu adalah cahayamu dan cahayamu adalah sinarmu yang menebar menembus batas-batas tanpa kau terjebak di dalamnya. Ikuti suara hatimu karena di hatimu sudah ada pembimbing yang tiada akan pernah meninggalkanmu dalam suka dan duka. Pulang, dan ucapkan salam cinta kepada semua." Kriiinggg, suara dering sms mengembalikan aku ke dalam kesadaran alam nyata. Saleum Cinta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun