Pada awal abad ke-18, Kerajaan Mughal di India mengalami kemunduran. Setelah kematian Aurangzeb pada 1707, kerajaan ini mulai dilanda perang saudara dan perebutan kekuasaan. Hal ini mengakibatkan kelemahan dalam kepemimpinan dan kestabilan negara pada saat itu. Di tengah kemunduran ini, munculah Syah Waliullah (1703 – 1762) yang merupakan seorang pemikir besar yang berusaha mengatasi tantangan yang dihadapi umat Islam. Ia memiliki nama asli Kutb al-Din, dan karena kedalaman ilmunya dalam bidang keagamaan, dia diberi gelar Syah Waliyullah.  Melalui pemikiran-pemikirannya yang tajam, Syah Waliullah menjadi pelopor pembaruan dan modernisasi di kalangan umat Islam India pada masa itu.
Kelemahan Sistem Pemerintahan dan Ekonomi
Syah Waliullah melihat bahwa salah satu penyebab utama kemunduran umat Islam adalah perubahan sistem pemerintahan dari sistem kekhalifahan yang bersifat demokratis menjadi kerajaan otokratis. Menurutnya, sistem pemerintahan absolut yang diterapkan pada masa itu memperburuk kondisi masyarakat. Pajak yang tinggi dibebankan pada rakyat, terutama pada petani, buruh, dan pedagang, sementara penguasa dan bangsawan menikmati hidup mewah. Hasil dari pajak yang tinggi tersebut, menurutnya, tidak digunakan untuk kepentingan umat, tetapi lebih untuk kepentingan pribadi para bangsawan. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang pada akhirnya mengganggu stabilitas sosial dan politik.
Syah Waliullah mengusulkan agar sistem pemerintahan yang lebih adil dan demokratis, seperti yang diterapkan pada zaman Khulafaur Rasyidin. Ia percaya bahwa sistem pemerintahan yang berpihak pada rakyat dan mengutamakan keadilan sosial dapat menjadi kunci untuk memulihkan kejayaan umat Islam.
Perpecahan di Kalangan Umat Islam
Selain masalah pemerintahan, perpecahan internal umat Islam juga menjadi perhatian besar Syah Waliullah. Saat itu, umat Islam terpecah dan terbagi dalam berbagai mazhab dan aliran, seperti pertentangan antara Sunni dan Syi'ah, serta perbedaan antara aliran Mu'tazilah, Asy'ariah, dan Maturidiah. Syah Waliullah berusaha mengatasi perpecahan ini dengan mengajak umat Islam untuk mengedepankan persatuan dan toleransi di antara berbagai kelompok.
Ia menegaskan bahwa meskipun terdapat perbedaan, umat Islam tetap berada dalam satu naungan agama yang sama. Syah Waliullah menolak anggapan bahwa Syi'ah keluar dari Islam, dan ia menyatakan bahwa perbedaan mazhab tidak seharusnya menjadi alasan untuk perpecahan. Usahanya untuk menciptakan suasana damai antara berbagai golongan ini sangat relevan untuk menjaga persatuan umat Islam.
Pemurnian Ajaran Islam dan Ijtihad
Syah Waliullah juga menyoroti pengaruh adat istiadat dan ajaran-ajaran bukan Islam yang telah menyusup ke dalam ajaran Islam di India, khususnya pengaruh Hindu. Ia berpendapat bahwa umat Islam perlu kembali kepada ajaran murni Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis, dan tidak terjebak dalam penafsiran-penafsiran yang dipengaruhi oleh budaya lokal.
Syah Waliullah juga menentang taklid atau mengikuti pendapat ulama tanpa pemahaman. Ia menganggap bahwa taklid adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Sebagai solusinya, ia menganjurkan ijtihad, yaitu penafsiran ajaran Islam yang sesuai dengan konteks zaman. Pemikirannya ini mencerminkan pandangannya bahwa Islam adalah agama yang dinamis, yang harus dapat beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan esensi ajarannya.