Besok hari Senin ya?  Rasanya nano-nano. Hehehe ramai rasanya
Saya bukan pembenci Senin. Bukan juga  penganut aliran  I don like Monday .  Apalagi jika Senin tanggal merah. Wuihhh.....ingin rasanya melompat setinggi langit (kalau bisa...). Hari Senin menyimpan  even yang selalu terkenang di hati saya (hihihi). Yak! Dialah si Upacara Bendera! Entah ditunggu atau tidak, Hari Senin sama dengan Upacara Bendera.
Bagaimanapun saya harus tiba di lapangan sebelum upacara dimulai. Sebagai Wali Kelas wajib "cek pasukan".  Kalau tidak "dirapihkan", anak-anak SMK ini tak ubahnya murid Taman Kanak-kanak. Berbaris saja masih berantakan. Barangkali  lebih baik murid TK .Â
Agak bersyukur sampai hari Mingu ini Yogya agak sendu. Mendung mendayu-dayu. Meski jatah hujan hari ini belum juga turun. Ah, mungkin hari Senin pagi ya... ? (hahaha). Ups, bukan begitu maksudnya! Saya hanya berharap saat upacara bendera besok cuacanya pun seperti ini. Sehingga nyaman untuk upacara. Kalau saja anda  tahu, panasnya Yogya ini begitu "garang". Coba saja kalau tak percaya.
Begitupun Senin di minggu lalu. Langit benar-benar terang benderang! Seperti matahari begitu bersemangat, panasnya sangat ekstrem. Tentu saja jika anda di lapangan upacara. Jika duduk dalam ruang ber-AC tentu tak akan terasa. Â Kulit ini rasanya macam digoreng. Tak perlu berlari, peluh pun otomatis mengalir melewati punggung dan dahi.Â
Saya suka mengamati. Ketika matahari luar biasa panasnya, siswa menjadi lebih sulit diatur. Sedikit-sedikit mengobrol atau berdiri goyang sana-sini. Ini kenyataannya. Saya tidak mau membuat pencitraan. Jangan bayangkan barisan militer, atau  gaya ala-ala militer di sekolah lain. Wali  Kelas harus selalu keliling dan menegur, supaya siswa tertib kembali.  Dalam cuaca panas yang ekstrem menegur siswa harus lebih  ekstra.Â
Rutinitas yang selalu ada saat upacara adalah amanat pembina upacara. Amanat ini terkadang bukan main-main. Artinya lamanya bukan main. Memang tergantung kepada sang Pembina. Ada yang suka berbicara lama, mungkin teringat berceramah  di kelas :) Atau saat-saat upacara hari Nasional seringkali ada pesan berupa sambutan resmi yang mesti dibacakan. Entah  dari Menteri,  Bupati, Atau Gubernur. Biasanya isinya pun tidak singkat. Â
Senin kemarin di panas yang ekstrem, kami kedatangan pembina upacara dari sebuah instansi (rahasia). Sepertinya beliau senang bercerita. Bicara soal geng,  soal klitih,  soal kriminalitas.  Entah apa persisnya pesannya. Karena saya sibuk wara-wiri mengingatkan "anak-anak" supaya tidak ribut. Yang  pasti jumlah prosentase siswa yang mendengarkan paling hanya 10 prosen.Â
Rasa panas tidaklah subyektif. Karena beberapa siswa nampak "menyerah" alias pingsan. Bahkan salah satu petugas terpaksa mundur akibat penglihatan sudah berkunang-kunang. Memang sangat panas. Kami harus berdiri lebih dari 1 jam. Karena setelah upacara ada seremoni pelantikan pengurus OSIS.Â
Upacara Bendera diadakan rutin seperti layaknya sebuah ritual. Sehingga kita pun selalu sudah hafal urutan-urutan acaranya. Â Yang menarik bagi saya justru amanat Pembina upacara. Segala macam pesan, petuah dan nasehat itu, didengarkan apa nggak sih?Â
Kadang disampaikan panjang lebar seperti sambutan resmi para pejabat yang dibacakan, atau Pak Pembina di Senin lalu yang serasa asyik mendongeng. Sementara audiens "sibuk" sendiri.  Entah mengobrol kecil dengan teman sebelahnya. Entah menunduk setengah kantuk menahan panas.  Intinya situasinya tidak kondusif, beberapa kelompok siswa mulai "ramai".  Sayangnya  Pembina seolah asyik berbicara tanpa ada perkiraan waktu dan kurang melihat situasi.Â
Tepatkah menyampaikan pesan saat Upacara Bendera kepada siswa?
Kalau ditanya apa yang disampaikan Pembina Upacara ? Lebih sering jawabnya. "Apa ya...nggak nyimak e...". Guru pun Siswa sama saja.Â
Fungsi amanat pembina Upacara memang memberi pesan-pesan bermanfaat. Tetapi perlu diingat : pesan singkat, bukan panjang lebar. Menjadi pembina upacara ataupun apel  mirip dengan mem-brief. Seperti layaknya sebuah briefing yang dimaknai lebih singkat daripada sebuah meeting atau pertemuan atau rapat kerja. Pastinya pesan yang disampaikan dalam upacara mesti lebih singkat daripada briefing
Intinya lebih kepada aktivitas mengingatkan tentang poin-poin penting. Bisa jadi juga informatif mengenai agenda-agenda penting. Kemudian mengarahkan secara singkat poin-poin tindakan yang perlu dilakukan. Paling tidak hal yang menjadi prioritas satu minggu ke depan.Â
Saya pikir waktu 10 menit bagi amanat Pembina Upacara sudah cukup. Perlu diingat bahwa amanat Pembina Upacara bukanlah inti dari Upacara. Inti dari Upacara Bendera adalah berkibarnya Sang Saka merah putih, dan mengheningkan cipta mengingat jasa para Pahlawan.Â
Dilihat dari segi situasi, ceramah berpanjang lebar saat memberikan amanat pada saat upacara bendera di sekolah  berpotensi tidak terserap dengan baik oleh pendengar. Di lapangan yang luas, audiens kami 2 ribuan orang. Fasilitas audio yang kadang terganggu menjadi kendala orang lain untuk menyimak dengan baik.Â
Situasi siswa yang berdiri hampir satu jam di bawah panas terik matahari bukanlah kondisi yang tepat untuk mendengarkan. Mungkin mendengar, seperti terdengar suara hembusan angin atau  mesin kendaraan bermotor yang lalu lalang. Tetapi bukan mendengar-kan dalam arti menyimak dengan baik. Poin penting dan singkat saja kadang terlupa, apalagi jika berpanjang lebar.
Dalam seminar yang saya ikuti beberapa waktu lalu, Â momen paling tepat untuk memberi sugesti atau pesan positif kepada siswa remaja kita adalah pada saat mereka rileks.Â
Ketika mencoba bertahan untuk berdiri tegak di tengah panas terik matahari dalam situasi seremonial yang bagi mereka membosankan, apakah  pesan-pesan dapat terserap dengan baik ?
Paling baik saat menangkap pesan salam penutup yang selanjutnya bakal disambut riuh rendah dengan aplaus tepukan tangan meriah tanda gembira.
Bukan berarti bahwa memberikan wawasan  berupa pesan positif dan informasi  mengenai  keadaan remaja saat ini kepada siswa tidaklah penting. Hal itu bahkan teramat penting. Tetapi tentunya dalam momen yang tepat. Dalam seminar, kegiatan penyuluhan, atau hadir di kelas-kelas, akan jauh lebih efektif.Â
Jujur saja sambutan para petinggi yang ditulis resmi dalam kertas berlembar-lembar kemudian dibacakan pada saat upacara bendera, terasa seperti sekedar formalitas yang entah didengarkan atau tidak.Â
Saya malah berimajinasi. Bagaimana jika sambutan itu direkam saja. Diberi visualisasi yang menarik. Â Dikemas dalam bentuk video dengan teks. Lantas disajikan di kelas kelas dengan memanfaatkan LCD proyektor dan speaker. Siswa dapat melihat dan mendengarkan dengan duduk manis. Sambil berpikir tenang -tenang, "menikmati" sambutan Menteri, Gubernur atau Bupati. Bukankah itu lebih efektif karena mendengarkan dengan nyaman ?
Bagi saya Upacara Bendera itu tetap penting meski bukan segala-galanya. Banyak cara memupuk disiplin dan rasa nasionalisme dengan aksi nyata. Perlu strategi baru dari Guru di sekolah agar siswa  dapat mengikuti Upacara Bendera dengan khidmat juga bermakna.Â
Penting melihat situasi dan kondisi di lapangan sehingga bukan cuma ingin nasionalis, tetapi juga realistis.
Bacaan : satu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H