Tulisan ini terinspirasi dari tulisan seorang kompasioner Prof. Dr. Apollo (Daito) yang berjudul Re-interpretasi Makna Patung "The Thinker" karya Auguste Rodin yang menjadi Artikel Utama di Kompasiana beberapa waktu lalu. Silakan klik linknya pada judul tulisan bersangkutan.Â
Beliau Prof. Dr. Apollo, memberikan ilustrasi berupa foto replika patung "The Thinker" yang  dipajang di Kolese SMU Kanisius Jakarta. Menarik bahwa gambar ini dikomentari (dalam kolom komentar) oleh seorang kompasioner yakni Mbah Ukik dengan kalimat , "Andai anak Kanisius membuat The Worker, Mungkin bisa menyaingi Auguste Rodin."
Membaca artikel ini berikut komentarnya, tetiba membuat saya berpikir bahwa sepertinya, dan apakah benar ada persaingan antara si pemikir dan si pekerja?
Kata-kata "Kerja. kerja, kerja" tentunya tak asing di telinga kita kan? Anda pasti tahu siapa tokoh  yang mempopulerkan slogan itu.Â
Sedangkan kalau mendengar kata "Mikir, mikir, mikir", semoga anda juga teringat siapa tokoh-tokoh yang sering mengatakan hal itu.Â
Tidaklah penting membahas siapa tokoh-tokoh itu, melainkan bahasan mengenai berpikir dan bekerja. Â
Kembali kepada persaingan antara pemikir dan pekerja. Apa benar keduanya ini saling beroperasi sendiri-sendiri dan  memang ada persaingan antara keduanya atau apakah keduanya sebenarnya saling melengkapi?
Saya mencoba membuat pertanyaan sederhana. "Mana ada sih, kerja yang nggak pake mikir?" lanjut, "Emangnya kalau mikir terus, nggak kerja. Apa bisa makan?"
Jawaban pertanyaan itu boleh  dibuat kesimpulan bahwa antara berpikir dan bekerja memang adanya saling melengkapi. Cukup? Tunggu dulu analisanya belum selesai.
Kesimpulan itu belum cukup memuaskan. Kalau melihat realita, setiap aktivitas memang menggunakan kedua duanya tetapi bisa jadi berbeda dalam besaran porsinya masing-masing.Â
Artinya ada aktivitas yang lebih banyak membutuhkan kemampuan berpikir dan ada aktvitas yang memang membutuhkan lebih banyak kerja dalam pengertian gerakan motorik atau aksi nyata.Â