Sebelum menulis saya tengok kiri dan kanan dahulu. Apakah keponakan saya ada di rumah? Hehehe, karena tulisan ini terinspirasi darinya.
Yah, anggaplah sekedar sharing uneg-uneg. Karena motivasi saya menulis memang untuk berbagi pengalaman dan ide, yang siapa tau menginspirasi. Karena alasan inilah saya tidak bermaksud membuka kejelekan orang lain. Melainkan hanya sebagai sarana belajar dari pengalaman.
Saya dan suami memang tidak punya anak. Tetapi kami punya seorang keponakan yang tinggal bersama kami. Alasannya tentu karena ia kuliah di salah satu Perguruan Tinggi swasta d Yogyakarta.Â
Kalau kos pastinya harus keluar biaya. Orangtuanya berharap ia paling tidak bisa bantu-bantu pekerjaan rumah. Tidak ada biaya yang harus ditanggung orang tuanya alias free, gratis tinggal di rumah kami. Sekaligus suami dan saya bisa memantau kesehariannya (maklum anak perempuan). Kebetulan kampusnya dekat dengan tempat kami tinggal
Tinggal di Babarsari, Yogyakarta, mestinya familier dengan kaum yang namanya Mahasiswa. Mereka datang dari seluruh penjuru Indonesia, termasuk keponakan kami.Â
Saya kagum melihat niat mereka datang untuk mencari ilmu, tetapi ada yang disayangkan. Masih terkesan bahwa Pendidikan Tinggi dipandang sekedar sarana mengejar Ijazah belaka untuk nantinya mencari pekerjaan.Â
Apakah mungkin karena kata-kata akademis hanya identik dengan mata kuliah, ijazah, atau ilmu-ilmu yang dipelajari saat mereka kuliah? Sebut saja psikologi, hukum , pendidikan, yah sejenis itulah.
Tetapi lupa bahwa penting untuk belajar menyesuaikan diri, meningkatkan kepedulian dan kepekaan, atau belajar etika dan sopan santun.Â
Pastinya tidaklah semua mahasiswa seperti itu. Ulasan ini hanya berdasarkan beberapa saja dari yang saya amati. Sebut saja semua ini oknum.Â
Mengingat usia keponakan yang bukan lagi remaja apalagi anak-anak, saya lebih suka menekankan kepada kesadaran dari pada perintah-perintah. Mengerjakan pekerjaan di rumah lebih tepat dikatakan sekedar bantu-bantu.Â