Alih-alih bicara soal kata-kata puitis. Saya lebih suka kalau Guru dianggap saja sebuah profesi dan pekerjaan yang sama dengan profesi dan pekerjaan lainnya yang masuk kategori sosial.
Artinya, banyak berhubungan dengan manusia dan mengurusi manusia. Pekerjaan jasa dalam hal ini mendidik, melayani, mengasuh anak-anak atau remaja.
Oleh karena pekerjaan itu adalah sebuah profesi ia pantas dihargai sebagai profesional. Layak mendapatkan hak-haknya sesuai profesinya, sejauh ia berada dalam jalur etika dan aturan profesi itu.
Kalau ia mengabdi, melayani sebagai panggilan jiwa,  mampu digugu lan ditiru, mencintai siswa dengan sepenuh hati,  dan bla bla bla.... itu sudah bagian dari pekerjaannya yang tak perlu dilebih-lebihkan. Bukankah semua pekerjaan dan profesi ya harus begitu?Â
Saya bukan alergi akan pujian, tetapi tidaklah  perlu terlalu banyak sanjungan. Karena sanjungan itu bagi saya salah-salah bisa mengandung ekspektasi berlebihan, seolah Guru adalah manusia setengah dewa.
Sehingga kebutuhannya lebih minim daripada manusia pada umumnya atau kesempurnaan hidupnya harus melebihi manusia pada umumnya. Sadarilah Ini bukan lagi jaman para Mahaguru atau para Empu.Â
Saya setuju dengan isi pidato  Menteri pendidikan  Nadiem Makarim yang menurut saya mencoba memposisikan  Guru dalam porsi manusia biasa tetapi juga harus penuh inovasi.
Beliau mengatakan tugas Guru itu sulit. Mengurusi manusia itu bukan hal mudah. Bukan hanya memfasilitasi dari tidak bisa menjadi bisa. Melainkan harus membentuk kakarater, mengubah pola pikir,  menjadi role model yang diharapkan, memberdayakan dan meningkatkan partisipasi serta keaktifan anak didiknya.
Apalagi di jaman serba digital ini Guru dituntut melek teknologi informasi, mendesain pola pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif untuk mensikapi perubahan cara belajar peserta didik yang semakin dinamis. Lebih berat lagi bahwa bagaimana sekolah saat ini diharapkan bukan hanya sekedar lembaga untuk belajar, tetapi lebih dari itu sebagai sarana bagi peserta didik untuk dapat memperoleh pekerjaan dan meningkatkan taraf kehidupan.
Guru itu manusia biasa yang dihadapkan dalam setumpuk pekerjaan administrasi yang seringkali njelimet dan tak fungsional, demi tuntutan birokrasi dan formalitas, seolah-olah Guru itu kurang pekerjaan.Â
Guru itu manusia biasa yang sadar bahwa anak didiknya punya banyak potensi tetapi selalu dibenturkan dengan seabrek tuntutan kurikulum yang begitu saktinya sehingga harus dipenuhi untuk memenuhi target perolehan angka-angka yang sebenarnya hanya untuk memuaskan prestise para pemangku kepentingan dan sama sekali bukan untuk kepentingan anak didik.Â