Waktu di mana seorang perempuan memelihara bangkunya di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), kerap kali ia berangan akan masa selanjutnya yang tidak pasti. Dalam angannya, gambaran masa depan nampak tertata sedemikian indahnya. Keindahan itu bahkan mendistraksi geraknya untuk tidak menghabiskan waktu sekadar pagi menjemput malam.
Ia begitu sibuk memesrai pergolakan pikirannya. Ia merasa tidak memiliki kesempatan dan dukungan dari lingkungan di sekitarnya. Bahkan orang-orang terdekat sekali pun sama sekali tidak memberi dorongan untuk langkahnya menuju pengharapan setelah habis masa bangku pendidikan tingkat SMA.
Singkat cerita, ia sampai pada pencapaian kelulusan. Perempuan itu bergelut hebat dengan kebingungannya yang tidak kunjung menemukan batas solusi. Ia sangat ambisi ingin beralih meninggalkan kediamannya yang telah dibersamainya selama hampir 20 tahun lamanya. Kala itu usianya lebih dari 19 tahun.
Setelah waktu sudah semakin menekan dan mendesak, perempuan itu akhirnya menemukan satu titik solusi. Ia memberanikan diri untuk menyampaikan alur kehendaknya. Ironisnya, tidak ada yang setuju untuknya pergi jauh menuntut pendidikan ke tanah Jawa. Kendati demikian, ia tetap teguh dan tidak mau terhegemoni ketakutan akan ungkapan durhaka sebagai seorang anak yang tidak patuh pada tuntutan orang-orang terkasih.
Meskipun, ia mendapati banyak harapan-harapan buruk dan permintaan-permintaan yang menjurus pada kesengsaraan, ia tetap tidak gentar pada itu semua. Gambaran masa depan teranjur memeluk hasratnya yang telah ia ukir jauh sebelum mengambil keputusan untuk melawan.
Baginya sangat tidak layak hal semacam itu menjadi alasan untuk melenyapkan segala ambisi. Dalam ruang fokusnya hanya memuat harapan dan pencapaiannya kelak. Ia begitu yakin dan percaya, seseorang yang memutuskan beranjak demi satu tujuan bernilai, tidak serta-merta Tuhan akan menimpakan keburukan untuknya.
Benarkah Tuhan marah ketika hambanya begitu ambisi pada ilmu pengetahuan? Apakah Tuhan lebih senang pada anak yang memilih bertahan menjadi orang bodoh ketimbang melawan untuk belajar?. Perempuan itu senantiasa berdoa meminta belas kasih Tuhan, di satu sisi ia tidak dapat menafikan kekhawatirannya yang memilih berkehendak tanpa restu dari orang-orang terkasihnya.Â
Proses semacam ini memang tidak jarang terjadi pada perempuan. Pada dasarnya, pergerakan perempuan tidak sebebas dan seleluasa laki-laki pada umumnya. Mengingat begitu banyaknya hal-hal yang menjadi pertimbangan pada perempuan, tidak hanya melekat di dirinya sendiri, melainkan pada orang-orang sekitar yang sering kali memberi batasan. Tetapi yakin dan percaya, ketika apa yang terniatkan jelas merujuk pada kebaikan, Inshaa Allah tidak akan terkutuk dalam keburukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H