Aku menatap wajah lelaki yang duduk di depanku. Dalam keremangan lampu malam aku masih bisa melihat wajahnya yang tampan, pipinya sedikit tirus, namun sama sekali tidak mengurangi ketampanannya. Matanya syahdu sekali ketika menatapku. Dia sama sekali tidak memperhatikanku. Ketika aku berulang kali mencuri pandang ke arahnya. Dia masih asyik memandangi lalu-lalang orang yang memadati pelataran Monas di malam Minggu. Dan aku membiarkan mataku asyik memandang Bang Udin, kekasihku. Ketika akhirnya ekor matanya menangkap mataku yang asyik menguliti dirinya. Dia tersenyum mendapatiku yang tersipu malau karena tertangkap basah sedang mengamati dirinya. Segera kutundukkan kepalaku. Menyusuri setiap jengkal con-block sambil menyembunyikan perasaanku. “ Kenapa Sayang?” Mata Bang Udin menyelidikiku. Aku hanya tersenyum, kemudian mengangkat wajahku perlahan hingga mata kami bisa beradu pandang dengan leluasa. “ Ah nggak Bang…” Bang Udin tersenyum mafhum memahamiku. “ Oh ya sudah, kamu laper belum?” “ Laper Bang…” “ Makan yuk!” “ Abang ada duit?” Mataku berbinar-binar menatap Abang untuk memastikan. Tadjudin tersenyum, “ Yah…, biar jelek-jelek begini kan Abang Satpol PP, pegawai walikota. Kalau cuma nasi goreng sama Aqua mah enteng.” Si Abang membusungkan dadanya dengan bangga. Aku hanya tersenyum melihat tingkah lucunya. “ Ya deh yang Satpol PP.” “ Jadi makan gak nih?” “ Jadi dong Bang…” “ Ya udah tunggu bentar yah.” Tadjudin bangkit berdiri dan berteriak memanggil tukang nasi goreng keliling. “ Bang…Woy…Nasi Goreng!” Tadjudin juga menepuk kedua belah tangannya dengan kasar agar si tukang nasi goreng mendengarnya. “ Bang!” Akhirnya si tukang nasi goreng mendengar suara Abang Tadjudin. Dia menoleh dan segera mengarahkan gerobak nasi gorengnya ke kami. Setelah tukang nasi goreng berada sangat dekat dengan kami. “ Nasi gorengnya dua, bang! Pedes…” Abang Udin alias Tadjudin dengan mantap. Dan Si tukang nasi goreng pun segera memanaskan minyak goreng dalam wajannya. Sembari mengiris-iris kol dan bawang. “ Bang…” Aku memanggil kekasihku yang duduk di sampingku dengan lembut. “ Ya Sayang…” Si Abang pun membalasnya dengan lembut. Matanya berbinar-binar menatapku. “ Abang cinta gak sih sama Neng?” Aku dengan manjanya. Si Abang tersenyum, “ Ya cinta dong Neng. Kalo gak cinta, mana mungkin Abang melamar. Kan sebentar lagi kita bakalan kawin.” Aku tersipu malu, sambil menunduk. “ Bentar lagi kan?…abis lebaran…” Aku semakin tertunduk, padahal jauh di dalam hatiku. Jantungku berdebar-debar, melonjak-lonjak gembira. “ Eh iya ya Bang…” Aku menatap wajah Udin dengan mesra. “ Iyah…” “ Gak nyangka yah, kita udah empat tahun aja pacaran yah…” “ Iyah…gak nyangka…” “ Padahal dulu pas kita ketemuan di Setia Bakti, gak nyangka kalau kita bakalan nikah gitu.” Kami berdua melemparkan pandangan jauh menyusuri pepohonan, lalu-lalang orang yang sedang melintasi taman Monas, juga pada deretan gedung-gedung tinggi yang berjajar mengelilingi Monas. Hatiku masih berdegup kencang. Layaknya debaran seorang pencinta yang sedang kasmaran. Aku berusaha menguasai diriku agar Bang Udin tidak terlalu mendengar debaran jantungku. Kira-kira Bang Udin, berdebar juga tidak yah? Lama kita terjebak dalam kebisuan. Namun hati kami saling bicara dalam hening. Kami tahu bahwa di taman ini, kami bukanlah satu-satunya pasangan yang sedang kasmaran. Masih ada pasangan-pasangan lain yang sedang berasyik-masyuk menghabiskan malam minggu. Namun kami merasa dunia itu hanya ada kami berdua. Yang lainnya cuma ngontrak. “ Bang…” Suara tukang nasi goreng yang menyodorkan dua piring nasi goreng kepada kami menyadarkan lamunan kami masing-masing. “ Eh iya…” Abang Udin dengan tanggap mengambil piring nasi gorengnya. Kemudian baru giliran aku. “ Terima kasih ya Bang…” Ujarku sambil mengambil piring nasi goreng yang disodorkannya. Si tukang nasi goreng hanya mengangguk. Dan dia berlalu memberi tempat kepada aku dan Abang Udin untuk bisa menikmati makan malam romantis kami, di bawa sinar rembulan. Syahdu sekali. Walau kami hanya duduk di bangku taman monas dan menikmati nasi goreng. Namun rasanya seperti menikmati sajian makan malam mewah nan romantis di sebuah restoran megah. Lama kami asyik dalam pikiran kami masing-masing. Aku sibuk menikmati nasi goreng pedas yang masih mengepul itu. Abang Udin juga. “ Abang…” Aku dengan lirih, membuat Abang Udin menoleh ke arahku. Mulutnya sibuk mengunyah halus nasi gorengnya. “ Kalau kita kawin…Abang maunya kita punya anak berapa Bang?” Sejenak Bang Udin berpikir, “ paling dikit tiga deh.” “ Kenapa tiga bang?” Aku mengunyah cepat makananku agar bisa mengajukan pertanyaan lainnya. “ Yah…kalo satu kan kedikitan. Tar kalo kawin kita cuma berdua di rumah. Kalau cuma dua juga masih sepi. Nah tiga tuh pas dah…” Bang Udin beralasan dengan logat Betawi yang kental. Aku hanya mengangguk-angguk saja. “ Yah sebetulnya sih kalau bisa, Abang mah pengennya anaknya banyak. Biar rame. “ Bang Udin melanjutkan. “ Banyak bang…ih bagaimana ngurusnya? Mana sekarang harga-harga mahal lagi.” “ Yah Neng…banyak anak banyak rezeki. Insya Allah setiap anak mah pasti ada rezekinya..” “ Iya yah Bang…” Aku mengangguk-angguk sambil menyendukkan suapan nasi gorengku yang sudah hampir habis. “ Itu mah gak usah dipikir. Nih doain aja neng, tar kalau karir Abang bagus. Ntar kan habis jadi Satpol PP. Abang bisa jadi Ketua Satpol PP. Mana tahu nasib baik, Abang bisa jadi walikota. Ntar kan Eneng jadi ibu Walikota.” Aku tertawa cekikikan mendengarnya. Kekasihku memang seorang pekerja keras, dia memiliki mimpi yang besar. Abang yakin sekali suatu hari nanti dia akan menjadi seseorang. Itulah yang membuat aku semakin cinta kepadanya. Kupandangi wajah kekasihku yang sedang berkonsentrasi dengan nasi gorengnya. Kupandangi dengan penuh perasaan cinta. Cinta yang bergejolak. Oh Tuhan…Demi Tuhan aku mencintainya. Izinkan kami saling mencintai hingga akhir hayat. Dan seketika itu pun khayalanku melayang jauh, kepada rencana pernikahan kami yang tinggal berbilang bulan. Kurang dari enam bulan kami akan menikah. Sebulan setelah lebaran. Aku membayangkan diriku dan dirinya yang sedang duduk di singgasana pengantin. Saling memandang dengan penuh cinta. Menyalami setiap tamu yang dating. Dan… dan… oh banyak sekali khayalan indah tentang aku dan dia. Sebentar lagi. Enam bulan tidak akan lama lagi. Aku hanya perlu bersabar sedikit saja. Dan kami akan sah menjadi suami-isteri. Kami mengobrol banyak hal hingga nasi goreng dalam piring kami ludes tak bersisa. Ketika akhirnya kami menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Bang Udin mengajakku pulang. “ Yuk… Neng kita pulang. Tar kalau kemaleman dimarahin lagi.” Bang Udin sambil bangkit berdiri. “ Ya deh…” Aku tersenyum dan mengikutinya bangkit dari duduk. Setelah membayar nasi goreng dan teh botol. Kami berdua berjalan beriringan menuju tempat parkir motor. Dan tanpa mengulur waktu, Abang Tadjudin menyalakan mesin motor dan memacu motornya membelah jalanan ibukota yang mulai lengang. Sedang aku yang duduk di belakang memegang pinggangnya dengan erat. Abang mengantarku dengan selamat sampai di depan rumah. Abang tidak terlalu lama di rumahku. Dia segera mohon diri setelah bertatap muka dengan orang tuaku sebentar. Aku melepas kepergiannya di depan rumahku. Memandangnya hingga sosoknya lenyap ditelan kegelapan malam. *** “Fiuh…hari yang melelahkan!” Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Berbaring dengan kedua kaki yang masih menggantung di pinggir ranjang, sambil menatap langit-langit. Sederetan rekaman kegiatan sepanjang hari melintas di pelupuk mataku seperti film. Semua terputar jelas dalam mataku. Berganti-ganti episode. Dan kini bayangan Tadjudin menari-nari di pelupuk mataku. Aku tersenyum tipis membayangkannya. Oh…aku ingat semenjak malam minggu kemarin aku belum berjumpa dengannya. Walau kami tidak sama sekali putus komunikasi. Kami masih saling berkirim pesan cinta lewat sms. Sesekali dia juga mengomentari statusku di facebook atau sekedar mengirim pesan. Dengan malas aku meraih telepon genggamku yang tadi sempat kulempar di atas ranjang. Kuraba-raba untuk mengetahui letak si telepon genggam. Setelah dapat aku segera meraihnya. Dan dalam hitungan detik setelah telepon genggam itu ada di genggamanku aku sudah terhubung dengan situs pertemanan Facebook. “ Wow, satu pesan baru.” Gumamku. Buru-buru aku lihat dan ternyata dari arjunaku. Kubaca perlahan pesan itu. "Doain aku. Aku ada taruna pembongkaran di Priok." Pesan ini dikirim Tadjudin melalui BlackBerry miliknya Selasa silam sekitar pukul 23.00. Dan dengan lincah jari-jemariku mengetikkan balasannya: "Ya, aku doain." Aku tersenyum puas akhirnya balasanku terkirim dengan sukses. Dalam hatiku berdoa, “Ya Allah lindungilah arjunaku besok…Aku mencintai dia ya Allah.” Dan dalam hitungan detik aku pun melayang jauh ke alam mimpi. Telepon genggamku pun terlepas dari genggamanku. *** Tadjudin dan ratusan Satpol PP lainnya sudah berada di dalam truk yang akan mengangkut mereka ke Koja. Tadjudin tidak tahu pasti apa tugas yanga akan dijalaninya. Dia hanya tahu dari briefing pagi ini, bahwa mereka ditugaskan untuk menjaga ketertiban persiapan pengosongan lokasi makam. Katanya Makam Mbah Priok yang selama ini sering dikunjunginya akan direnovasi. Tapi entahlah, Tadjudin tidak tahu pasti. Tadjudin sedikit bingung mengapa banyak untuk mengamankan lokasi dibutuhkan ratusan Satpol PP. Sebetulnya apa yang akan dihadapinya. Tadjudin hanya terdiam. Dia bahkan tak berminat lagi untuk terlibat pembicaraan dengan rekan-rekan seperjuangannya. Rasa kecut dalam hati Tadjudin diam-diam muncul ke permukaan. Dan Tadjudin buru-buru menepisnya. “ Tidak…Aku harus kuat. Insya Allah ini adalah tugas Negara.” Tadjudin menguatkan dirinya. Tak sampai satu jam, truk yang ditumpanginya sudah memasuki wilayah Koja. Tadjudin celingukan mengintip ke luar melihat keadaan. Dan Tadjudin melihat adala puluhan truk serupa. Dan dia juga melihat beberapa mobil besar milik media televisi ternama di Indonesia. Hati Tadjudin bertanya-tanya, sebenarnya ada apa di luar? Saat komandan batalyon Satpol PP menyuruh rombongannya untuk turun dari truk. Tadjudin kini bisa melihat dengan jelas bahwa disitu tidak hanya ada pasukan Satpol PP yang jumlahnya ratusan tetapi juga ada polisi. Namun dia berusaha untuk tidak terlalu memusingkannya. Dia menyadari tugasnya disini hanya mengamankan. Bukan yang lain. Dari tempatnya berdiri, Tadjudin juga melihat puluhan atau mungkin ratusan penduduk sipil yang sedang berjaga-jaga di sekitar makam. Satpol PP sudah berulang kali diingatkan agar tidak gampang terprovokasi. Mereka diam saja biarpun mereka meledek dan mencerca. Matahari mulai meninggi. Teriknya seakan membakar tubuh dan hati. Satu persatu bom Molotov pun mulai beterbangan menyerang. Pasukan Tadjudin terpancing. Dengan beringasnya mereka menyerbu masyarakat. Tadjudin sempat menimang-nimang apakah dirinya harus ikut dalam perseteruan itu atau tidak. Tadjudin bingung, bagaimana mungkin dirinya bisa terjebak dalam polemik ini. Tadjudin tidak tahu mengapa harus dia yang dilibatkan untuk membantai jemaahnya sendiri. Disitu Tadjudin biasa berziarah dan Tadjudin mengenal beberapa. Ini harus dihentikan. Tadjudin berlari bersama pasukannya yang merangsek masuk memukul mundur masyarakat Koja. Tadjudin hanya ingin berteriak, agar teman-temannya menghentikan semua ini. Semua ini salah. Seharusnya ini tidak ada dalam skenario pengamanan penggusuran. Seharusnya. “ Hai Tunggu!!!” Tadjudin berteriak hingga lehernya tercekat. “ Ini semua salah…! Tahan…Kita tidak boleh…” Tadjudin semakin histeris. Namun percuma tidak ada yang mendengar teriakan Tadjudin. Semua teman-temannya mulai terpancing emosi. Begitupun masyarakat. Tadjudin terbawa arus. Dia dipukuli, nyaris terinjak-injak ketika Tadjudin hendak melerai teman-temannya yang kesetanan memukuli seorang pemuda tanggung yang sudah berdarah-darah. Tadjudin berhasil melepaskan diri dari kerumunan. Namun Tadjudin tidak tahu lagi nasib pemuda tanggung itu. Tadjudin berhenti sejenak sekitar pukul 13.30. Buru-buru dia mengeluarkan blackberrynya untuk mengirimkan pesan pada kekasih hatinya.. "Pundakku cedera, tangan kananku keseleo." Calon istri Tadjudin pun membalas: "Kamu baik-baik aja? Kamu di mana?" Tadjudin menyimpan blackberrynya dengan segera. Dia ikut berlari mengikuti teman-temannya untuk menyelamatkan diri. Tadjudin tertinggal jauh. Keadaan semakin bahaya. Semua lari tungang-langgang. Tadjudin sempat mendengar teriakan teman-temannya agar segera berlari menuju kapal boat yang sudah disiapkan oleh polisi laut untuk melarikan diri. Tadjudin berlari sekencang-kencangnya. Namun, Tadjudin yang sudah tertinggal jauh memilih untuk bersembunyi, karena Tadjudin tidak tahu harus bagaimana lagi. Sekuat mungkin Tadjudin berlari, tak akan sanggup mengejar kapal boat itu. Tadjudin menyerah, dalam hatinya dia berdoa agar Tuhan menyelamatkannya. Bajunya basah oleh keringat yang mengucur deras di sekujur tubuhnya. Kerongkongan Tadjudin tercekat, haus sekali rasanya. Terik matahari benar-benar membuat Tadjudin semakin kepayahan, namun Tadjudin menahan diri agar persembunyiannya tidak diketahui masyarakat yang mulai kalap. “ Woy…tuh disana. Ada Satpol kampret. Ayo serbu!” Terdengar teriakan beringas masyarakat mendekati tempat persembunyian Tadjudin. Tadjudin bergidik ngeri. Dalam hati ia sempat berteriak, “Ya Allah…lindungi aku!” Dalam hitungan detik, masyarakat yang kalap berkerumun. Mereka memukuli Tadjudin dengan kayu, batu. Tadjudin di tonjok, ditendang. Darah segar mengucur dari pelipis Tadjudin. Tadjudin tak bisa berkutik, dia tak sanggup lagi berlari. Tadjudin sempat melihat beberapa orang yang berusaha menyelamatkannya, melindungi tubuhnya yang sudah lemah berlumur darah dengan tubuhnya. Tapi tubuh orang itu tak terlalu kuat untuk melindunginya dari amukan orang-orang yang sudah kalap. Tidak hanya satu orang yang berusaha melindungi Tadjudin, seorang bapak-bapak berpeci pun berusaha melindunginya, sambil berteriak “Jangan-jangan dipukul, tahan. Dia juga hamba Allah!” Namun orang-orang yang sudah kalap tidak memperdulikan seruan dewa penolongnya. Tadjudin tidak kuat lagi. Dia sempat berteriak minta ampun dan minta tolong. Minta segera disudahi penderitaannya. Namun lengkingannya tak diindahkan oleh siapapun. Tiba-tiba Tadjudin teringat ibu dan bapaknya di rumah. Tadjudin belum menunaikan janjinya untuk menyelesaikan kuliahnya. Tadjudin juga ingat Aida, kekasihnya, jantung hatinya yang akan dinikahinya Oktober ini. Tadjudin menangis, menitikkan air matanya. Tadjudin teringat dirinya belum menunaikan shalat Dzuhur. Dan tiba-tiba suara teriakan masyarakat yang beringas mulai terdengar samar. Dan semuanya berubah menjadi gelap. *** Sementara itu, isak tangis mewarnai pemakaman Ahmad Tajudin (26), Satpol PP yang meninggal dunia dalam bentrokan dengan warga di Koja, Jakarta Utara. Keluarga, kerabat, dan calon istri korban Aida Apriani tampak tak kuasa menitikan air mata saat jenazah almarhum mulai dimasukkan ke liang lahat. Usai disemayamkan di rumah duka di Jalan HH RT 09/01 No 40, Kebonjeruk, Jakarta Barat, jenazah kemudian dibawa ke Masjid Assurur, yang lokasinya berdekatan dengan rumah korban untuk disholatkan. Di mata keluarga maupun rekan sejawat, almarhum dikenal sebagai sosok yang ramah dan sangat disukai oleh rekan-rekannya. Selain itu, korban juga dikenal rajin beribadah. Ironisnya, ternyata korban merupakan salah satu jemaah pengajian yang pada Sabtu (10/4) lalu sempat berziarah ke makam Mbah Priok. Bahkan sebelum menemui ajalnya, korban sempat mengirimkan pesan singkat kepada rekan-rekannya di pengajian Taruna Masjid Assurur (Tamasur), yang isinya, meminta maaf kepada umat muslim lantaran ia hanya menjalankan tugas untuk membongkar gapura dan pendopo makam Mbah Priok. *** Aida memandangi gundukan tanah basah tempat kekasihnya Tadjudin dikuburkan. Dia mengusap air matanya sambil menarik nafas dalam-dalam demi membentuk kekuatan dalam hatinya yang teramat lara. Tanggal keramat 10-10-2010 yang sudah lama dinantikannya sebagai hari pernikahannya kini tinggal kenangan. Pernikahan itu tidak pernah ada. Sampai kapanpun Aida tidak akan pernah menikah dengan Tadjudin kekasihnya. Tadjudin meninggalkannya sendirian di sini. Aida memandang gundukan tanah basah itu dengan pilu. Kedua tangannya di letakkan di atas dadanya. Sudah hampir dua hari dua malam dia menangis sesenggukan hingga air matanya kering. Namun hari ini dia telah membulatkan tekatnya untuk merelakan kepergian kekasihnya menemui Tuhan-Nya. Aida mencium gundukan tanah basah itu. Sebelum bangkit berdiri. Aida sempat ragu meninggalkannya. Tapi ia ingat pesan guru ngajinya, “ Arwah tidak bisa kembali kepada Tuhan-Nya dnegan tenang bila tidak diikhlaskan pergi.” Aida menggigit bibirnya pelan tak sampai berdarah. Aida menahan diri sekeras mungkin agar tak ada lagi air mata yang jatuh. Aida ikhlas melepas Tadjudin. “ Pergilah Tadjudin, Sampai kapanpun aku akan mengingat bahwa aku pernah mencintaimu. Sampai jumpa Tadjudin!” Aida memandangnya untuk yang terakhir kali. Sebelum dia menguatkan hatinya untuk beranjak pergi meninggalkan kuburan kekasihnya. Mungkin Aida tidak ingin menghapus sms terakhir dari Tadjudin, karena itulah satu-satunya kenangan terindah dari Tadjudin RISMA BUDIYANI Jakarta, 16 April 2010 Mengenang tragedi Koja. Berdamailah saudaraku! ( Sambil berlinang air mata) Dilarang keras meng-copy paste cerpen ini tanpa seizing penulisnya dan tanpa mencantumkan nama penulisnya!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H