Kiki : Saya bosan menunggu hujan, tidak ingin apa-apa
Elyda: Sebermula kuentas pandang dalam senja yang begitu gamang ini kurasa banyak gelisah yang menyuaku, membelit dadaku, seperti hujan yang terus panahi bumi
Kiki : 16:54 tak ada waktu lebih, merentas yang berlalu. Oug cukup tidak bersahabat membuat semakin sempit
Elyda: dalam waktu yang sama dengan kecapmu ini, sering kuterisak dalam senyap tuk sapa Lucifer yang bertengger di istana agungnya. Ingin kurajuk sang penguasa baka tuk peluk ragaku dan bawa ruhku menuju alamnya
Kiki : Memeluk tak bisa dipeluk, bayangan semu kembali meruak datang. Denting berdaham menetes langit-langit hitam. Menyebut mantra asmaradhana gending mistik menyebut kembali waktuku
Elyda: telah kuparut dan tutup lelagu asmaradhana yang selalu sesaki malam-malamku yang tak pasti dalam lindung selendang batara Chandra. Kini telah kuganti kidungku senada requiem di ujung kubur paling dalam Vlad Drakulya
Kiki : Mantra menghilang aku kembali menetas langit, tabir kebohongan telah ku dapatkan. Nada-nada sesumbar nyanyian prajna paramita mengalun sendu
Elyda: Prajna Paramita sendiri telah begitu saja luluh dalam pangku Tunggul Ametung. Tak seperti Srikandi yang merupa perempuan perkasa, ia seolah hanya perempuan yang mengidung reraga saja
Kiki : Ken Dedes mencemburui raga itu, melirik hati Ken Arok memantrai dengan kidung Batara Kamajaya. Wewangi dupa mengepul keatas memohon untuk dikabulkan, terucap bait-bait setiap liriknya
Elyda: Jika kubisa merajuk Kamaratih, kuingin agar Kamajaya tak kabulkan mantra Dedes pada Arok. Biar ia tinggal saja bersama sang suami yang menguasa bumi Tumapel. Biar ia tinggal saja selamanya dalam cekam sang akuwu
Kiki: Matra itu masih menyayat, air bening keluar dari mata indah, meminta untuk dikabulkan, Dan iya mantra diterima