Mohon tunggu...
Rahmah Riski Widhiyastuti
Rahmah Riski Widhiyastuti Mohon Tunggu... -

penulis, suka foto, jalan-jalan, wisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Kabar Hujan (sebuah prosa)

28 Desember 2012   03:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:55 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa kabar hujan? Sudah lama tak bersua. Kamu juga bagimana dengan harimu? Baik sajakah, ku harap iya. Aku ingin cerita tentang hujan padamu, jujur aku merindunya. Bersama kamu dengan masing-masing segelas kopi panas. Ya, tentu saja kau akan memberikan cokelat padaku bukan kopi seperti milikmu. Penyakit lambungmu akan kumat bila kau minum kopi, begitu katamu. Diantara hujan ada kau dan aku serta gelas-gelas berisi kopi dan cokelat.

Aku disini masih mencintai hujan, bagaimana denganmu apa masih mencintai hujan? Kau begitu mencintai hujan dengan tidur nyenyak berselimut tebal menunggu hujan reda. Sedangkan aku akan bermain-main dibawah hujan, melihat itu kau pasti marah-marah, kembali kedalam rumah lihat bajumu basah. Kau masih berteriak kepadaku dan tentu saja aku tak menghiraukan. Namun jika itu tak berhasil kau akan mengambil ponselmu dan menelponku, ya kamu tahu kalau saat hujan aku pasti mengeluarkan ponsel untuk memotret apa saja yang basah karena hujan. Setelah marahmu, kamu mengajak berdiskusi dan tentu saja minum kopi, merasakan asap rokokmu atau menjadi pendengar setia tentang pekerjaanmu, ini yang ku tidak suka menjadi pendengar pekerjaanmu.

Hujan masih saja merintik, kau tahu lagu apa yang tepatmu untukmu. Tentu saja aku tahu sekumpulan playlist reggae menjadi alternatifmu. Aku tentu saja menjadi pendengar setia, lagu-lagu semacam Bob Marley, Tony Q atau lagu-lagu dari band reggae yang tak ku kenal. Aku melihatmu menyanyikan lagu-lagu itu dengan begitu fasih, dalam hati jika kau punya band tak akan cocok menjadi vokalis, lebih baik menjadi manajer atau semacamlah.

Awan masih menyebul berwarna putih kelabu, apa itu artinya aku tak tahu. Yang ku tahu adalah hujan semakin rintik dan tak kunjung jua berhenti. Sayang sekali kau dan aku tak lagi berbagi kopi, cokelat untukku, asap rokok milikmu yang berterbangan atau setia menjadi pendengarmuberceloteh apa saja. Kita berbeda, katamu suatu hari tepat dibawah hujan Aku mengerti jawabaku kala itu. Entah apa yang terjadi dalam diri kita, aku tak tahu. Semuanya hening hanya hujan dan kita yang ada. Semuanya terpaku dalam obrolan hujan. Kita terdiam hingga tak bisa mengeluarkan satupun kalimat untuk tak lagi berbagi.

Hujan sudah selesai, sama seperti kita. Tak ada lagi kopi untukmu, cokelat untukku. Asap rokok yang kau hembuskan atau menjadi pedengar setia celoteh-coletohmu apa saja. Hujan benar-benar berhenti yang tertinggal adalah air yang membekas pada tanah, pohon, bunga dedaunan, kolam atau parit. Hujan memberiku cerita tentang kamu, kopi dan kamu serta pendengar setia. Semua itu terbingkai untuk dalam hujan hari ini. Hujan mengambarkan kamu seperti titik air yang jatuh dari langit ke tempat yang berbeda-beda, dan aku seperti mereka yang mengharapkan titik air yang jatuhnya entah kemana. Hanya melihat punggumu ketika itu, bersama hujan yang selesai aku sadar bahwa kita tak lagi berdua dalam gelas kopi dan cokelat.

Pada hujan aku merindu 22/11/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun