Second session : Chocolate
Jadi saya itu gak gampang.  Setelah kehilangan orangtua, saya harus mengurus adik saya sendiri yang keras kepala. Saya selama ini gak pernah tuh mikirin diri sendiri, semuanya saya lakukan untuk bersama. Saya bekerja dari pagi sampai sore menjadi cleaning service di mal dan bekerja membuat pesanan dessert box di malam hari, anak itu tetap saja gak mengerti. Saya tuh terkadang terlihat seperti orang gila yang bersandar di pohon dekat trotoar, melamun, memungut detik demi detik yang  konon sangat sulit saya dapatkan waktu untuk berpikir sejenak mengenai kehidupan saya. Saya melongo. Tiba-tiba, seorang security yang benar saya mengenalinya menyapa saya dan menanyakan apakah dia boleh gabung untuk melamun bersama saya?
Suami orang yang berupaya mendekati saya, saya mikirnya emangnya apa sih menariknya saya, kayaknya gak ada! Dia tetap saja mendekati saya dengan alasan pelanggan setia. Dessert box maksudnya.
[Security] Boleh saya ikut duduk di sini?
[Karina] Duduk aja pak.
[security] Saya pesan lagi ya, dessert box kamu, saya ketagihan. Coklatnya sangat lezat. ( security itu memandang dada Karina )
Saya sebenarnya merasa muak harus berpura-pura ramah di hadapannya. Kalau bukan dia pelanggan dessert box, sudah saya intimidasi. Saya bukannya tidak senang memiliki kolega seperti dia. Namun, kolega lainnya memandang tidak senang ketika saya sedang mengobrol seperti ini dengan laki-laki ini. Suami orang, tampangnya seperti ada wajah indonesia timur dan sedikit campuran afrika. Jangkung besar, kalau memang suka sama saya kenapa nggak dari dulu bilang?
[Karina]Â Ini cuman perasaan saya atau memang benar kalau bapak mengincar saya?
[Security]Â Kar, please. Saya cuma pengen jadi teman kamu. Ada satu hal yang saya ngga bisa jelasin ke kamu. Pokonya saya peduli dengan kamu.
[Karina] Terserah bapak deh.