Mohon tunggu...
Riski Pratama
Riski Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Buruh Harian diri Sendiri dan Penjinak Isu dengan tulisan yang tidak berfaedah

Belajarlah dari kesalahan. Jika kau belajar dari kebenaran maka tak ada yang namanya proses. Jika Ragu Pulang Saja !!!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menyoal Simplifikasi Kontestasi Politik

11 Februari 2024   20:15 Diperbarui: 11 Februari 2024   20:17 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Upaya simplifikasi di tengah arus tuntutan demokratisasi terhadap term politik bahwa kontestasi politik itu hanya sebatas meraup keuntungan elektoral merupakan kepicikan yang tak bijak. Bangunan negara itu layaknya rumah yang kita tinggali saat ini, tidak hanya melulu tentang pondasi yang harus kokoh, tapi juga harus ada elemen yang melengkapi, sehingga rumah itu menjadi sesuatu bangunan yang layak. Kita mengadopsi trias politica sebagai satu instrumen membangun negara, itu tidak dimaksudkan untuk diletakkan secara parsial. Pemahaman check and balances yang dikehendaki dengan adanya trias politica seharusnya dipahami sebagai satu terminologi yang saling bersinergi. Rasa-rasanya, konsep tentang sinergitas trias politica yang harus berjalan bersamaan menjadi bias akhir-akhir ini karena adanya kontestasi yang berjalan dengan sistem yang tidak tertata rapi.

Pemilu sebagai jalan demokratisasi ide menemui kebuntuan di tengah pembelahan dan penyederhanaan konsep yang mencoba untuk mengkotak-kotakkan gagasan tentang bagaimana sebuah negara bisa berjalan. Pada akhirnya, dikotomisasi ini menyebabkan pemahaman bahwa negara itu hanya dijalankan oleh satu elemen saja. Kita ambil contoh saja seperti yang terjadi di pemilu Indonesia, bagaimana semua kalangan berfokus untuk mengadu visi-misi paslon capres satu dengan lainnya. Tentu ini baik, karena sebagai penganut sistem presidensil, tampu kekuasaan tertinggi dengan scope yang sangat besar adalah presiden, sehingga dengan mengadu visi-misi dari setiap kandidat capres, setiap orang akan dapat menentukan untuk dapat melabuhkan suaranya kemana. Akan tetapi, jika fokus pemilu ini hanya sekedar untuk mempertarungkan gagasan presiden, rasa-rasanya inilah yang dapat disebut sebagai upaya simplifikasi terhadap konsep demokratisasi ide untuk membangun sebuah negara.

Tesis tentang membangun sebuah negara harus diwujudkan melalui demokratisasi ide yang menyeluruh, salah satunya melalui pemilu, seharusnya dipahami tidak hanya tentang menentukan presiden dan wakil presiden saja. Kita juga harus tahu, bahwa momentum pemilu yang dianggap sebagai instrumen legal untuk mengkudeta tampu kekuasaan itu juga akan digunakan oleh kita untuk memilih wakil-wakil kita di kursi kekuasaan sana. Lantas tidak bijak bagi kita, jika pemilu ini hanya kita gunakan sebagai ajang untuk menyalurkan suara agar presiden yang dikehendaki kita dapat berkuasa. Akan tetapi kita lupa bahwa dalam sistem bernegara kita, kita terikat secara kontraktual untuk mendelegasikan hak kita kepada wakil rakyat kita, sehingga kita dapat berpartisipasi dalam proses demokratisasi ide yang diperuntukan untuk kemajuan negara di pemerintahan yang berkuasa.

Dapat kita lihat sendiri di kesempatan pemilu yang sudah terselenggara selama ini, bahwa pemilihan calon presiden itu lebih seksi untuk diikuti dibandingkan pemilihan wakil rakyat kita sendiri. Bukankah ini pantas kalau kemudian disebut sebagai upaya simplifikasi terhadap terminologi bernegara ?. Padahal, kita sudah punya konsep yang selama ini dijadikan sebagai tesis berjalannya negara kita, bahwa terdapat tiga cabang kekuasaan, yang ketiganya harus berjalan beriringan sesuai dengan fungsionalisasinya masing-masing, sehingga tercipta check and balances dalam upaya membangun sebuah negara. Kalau kemudian memilih wakil rakyat dilupakan esensi dan sakralitasnya, tentu ada kecacatan konseptual yang harus dipertanyakan kembali. Karena kita harus tahu bahwa fungsi legislatif dalam trias politica, utamanya wakil rakyat kita di DPR memiliki seperangkat fungsional yang daya gedornya juga menentukan kedepannya negara ini akan maju atau tidak.

Kita tahu bagaimana peran itu rasa-rasanya tidak dirasakan oleh kita, karena terasa ada gap antara kita dengan orang yang mewakili ide dan keresahan kita selama ini di puncak kekuasaan. Euforia pemilu yang berjalan sebagai event lima tahunan ini seharusnya dimanfaatkan untuk merefleksikan kembali ide dan gagasan yang selama ini tidak sempat untuk terdemokratisasi secara kaffah melalui sistem bernegara yang terdesain, bukan malah karena euforia sesaat kemudian menjadikan kita memasang kaca mata kuda pada diri kita, sehingga lupa bahwa kita telah punya desain sistem bernegara yang kemudian kita simplifikasikan. Dan dalam kontestasi pemilu inilah, desain bernegara tersebut seharusnya mendapatkan maintenance, yang tidak hanya pada satu aspek dan elemen saja, akan tetapi secara keseluruhan.

Proses maintenance desain bernegara tentu membutuhkan satu pertarungan akbar atas ide dan gagasan. Tidak hanya pada kandidat calon pemimpin yaitu presiden saja, akan tetapi seharusnya ini menjadi satu kesempatan juga untuk mengevaluasi wakil-wakil kita yang ada di kekuasaan, sehingga wakil yang merepresentasikan kita nantinya tidak hanya menggagahkan diri karena seolah-olah telah diberikan mandat, akan tetapi juga mampu memberikan kepastian akan desain baru agar negara kedepannya dapat berjalan lebih baik. Dari kontestasi politik yang sudah berjalan, upaya untuk refleksi seharusnya menjadi bagian penting. Problem akan desain sistem bernegara yang masih belum apik karena adanya dikotomisasi dan simplifikasi dalam menjalankan negara yang seolah-olah hanya dijalankan oleh satu kekuasaan, terutama dengan adanya kontaminasi dari euforia event lima tahunan seharusnya menjadi sorotan penting untuk kita semua, sehingga dapat ditemukan solusinya. Bukankah inilah yang disebut sebagai bernegara secara baik dan bijak ? 

Oleh karena itu, di akhir tulisan pendek ini, penulis sebagai subjek yang fakir ini, ingin menggaris bawahi bahwa demokratisasi ide yang diperjuangkan dalam kontestasi politik itu secara ideal tidak bijak jika kemudian disimplifikasi hanya sekedar sebagai pertarungan elektoral satu cabang kekuasaan saja. Seharusnya sebagai pelaku, kita dapat berkaca dari penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Bahwa negara dibangun tidak hanya berdasarkan mekanisme kekuasaan tunggal, sehingga sakralitas untuk memilih wakil rakyat itu sejatinya tidak boleh direduksi dan terpinggirkan.

Jika penulis diperkenankan untuk memberikan cara memilih dalam kontestasi pemilu, izinkan penulis menyumbangkan pikirannya. Pilihlah seseorang yang merepresentasikan nilai idealmu dalam bernegara, jangan berfokus hanya pada presiden yang sesuai dengan keinginanmu, tapi carilah juga wakilmu yang jika terpilih mampu merepresentasikan idemu bagi bangsa dan negara ini, sehingga jika nantinya presiden yang kita hendaki tidak berada pada kursi kekuasaan sesuai dengan kemauan kita, masih ada wakil kita yang menjadi delegasi dari ide kita agar kedepannya negara dapat dibangun sesuai dengan nilai yang kita inginkan.

Salam Damai

Peace

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun