Mohon tunggu...
Riski Pratama
Riski Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Buruh Harian diri Sendiri dan Penjinak Isu dengan tulisan yang tidak berfaedah

Belajarlah dari kesalahan. Jika kau belajar dari kebenaran maka tak ada yang namanya proses. Jika Ragu Pulang Saja !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembangkangan Hukum yang Elitis, Akankah Hukum Mati?

12 September 2023   10:36 Diperbarui: 12 September 2023   10:48 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum dipandang sebagai aturan atau prinsip yang disepakati untuk ditaati bersama agar tercapai kehidupan yang tentram dan damai. Di Indonesia sendiri, diksi hukum jelas tidak terdengar asing, karena secara konstitusi negara ini telah mengkultuskan dan berserah diri pada kedaulatan hukum sebagai pengatur atau pemutus tertinggi yang harus dipatuhi oleh setiap orang, seperti yang ada di dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Maka tidak heran, jika hukum di negara kita sudah layaknya wahyu suci yang harus dipatuhi dan dipercaya akan kebenarannya. Karena jika ini dinegasikan, maka gagasan hukum sebagai pengatur atau pemutus tertinggi akan tereduksi. Namun alih-alih menjadi sesuatu yang sakral, hukum di negara kita terkadang menunjukkan watak yang tidak ada bedanya dengan manusia tidak berjiwa, atau nihil akan tujuan dan nawacita dari hukum yang "agung" itu sendiri. Bagaimana tidak ? metode pembentukan hukum yang lahir dari proses perpolitikan Indonesia yang carut-marut dan bersemayam dalam sebuah Peraturan Perundang-Undangan, hanya menjadi satu instrumen yang digunakan untuk menyokong kepentingan setiap elit yang serakah. Sehingga watak hukum yang seharusnya sakral dan "agung", menjadi hilang entah kemana.

Kita tahu bahwa hilangnya marwah negara hukum kita salah satunya dapat dilihat saat mengesahkan suatu aturan. Contohnya adalah pengesahan UU Cipta Kerja yang dikerjakan dengan Sistem Kebut Semalam oleh Wakil Rakyat kita. Ini merupakan bukti nyata bahwa ternyata budaya mengerjakan sesuatu kita masih layaknya amatiran dalam mengelola negara. Belum lagi, setelah UU tersebut dinyatakan inkonstitusional oleh MK, alih-alih memperbaiki dan mengkaji ulang, justru pemerintah dengan mudahnya menerbitkan Perpu yang secara prosedur itu tidak sesuai dengan aturan main terbitnya Perpu. Bukankah lucu ? layaknya kita bemain sepak bola, sudah dinyatakan pelanggaran berat sampai di kartu merah, bukannya malah keluar lapangan, tapi kita justru masih ngotot untuk bermain. Ya inilah salah satu potret negara hukum kita. Lantas jika sudah demikian, dari banyaknya perbuatan yang mencoba untuk memanfaatkan hukum hanya sebagai instrumen pelicin agar kepentingan yang tidak memihak rakyat bisa terafirmasi, maka bisakah kita hari ini khawatir akan kematian hukum kita ? Mari kita lihat kekhawatiran kita.

Berdasarkan Indeks Negara Hukum Indonesia yang diluncurkan oleh World Justice Project, memang terjadi peningkatan Indeks Negara Hukum kita sebesar 0,01 persen di tahun 2022. Akan tetapi, jangan berbangga terlebih dahulu, karena jika dilihat kembali, angka tersebut hanyalah terpaut 1 poin saja dengan Indeks Negara hukum kita di tahun 2021. Tentu ini harus menjadi pertanyaan besar dong ?. Bahkan peneliti Centra Initiative yaitu Erwin Natoesmal Oemar dikutip dari tulisan Susana Rita Kumalasanti di Kompas dengan judul "Indeks Negara Hukum Indonesia Stagnan Selama Tujuh Tahun Terakhir" mengungkapkan bahwa "Kenaikan 0,01 poin dalam tujuh tahun bisa disimpulkan sebagai kondisi yang stagnan. Hal itu terlihat dari posisi Indonesia yang masih sama sejak tahun 2016, yaitu peringkat ke-6 dari 15 negara di tataran regional". Dari indeks ini, salah satu trend yang menurun adalah terkait constraints on government powers (pembatasan kekuasaan pemerintah). Trend yang demikian diungkapkan oleh Alicia Evangelides sebagai trend yang terjadi berkelanjutan di seluruh negara sejak tahun 2015. Dalam tulisan yang sama, faktor yang melatar belakangi hal tersebut diungkapkan yaitu "Sebagian besar didorong oleh kecenderungan pemerintahan yang otoriter, termasuk melemahnya sistem check and balances, akuntabilitas yang melemah, dan adanya erosi terhadap hak-hak fundamental".

Paparan dari tulisan tersebut menjelaskan bahwa kondisi hukum kita yang gini-gini aja memberikan ruang yang lebar untuk diselewengkan oleh elit negara ini. Karena lebih dekat dengan kekuasaan, mereka menjadikan kekuasaan mereka sebagai serdadu untuk sebisa mungkin memangkas pengatur atau pemutus tertinggi di negara Indonesia yang tidak menguntungkan mereka. Dengan cara yang elitis, para demagog yang katanya merepresentasikan hak-hak rakyat tersebut mencoba untuk mengubur mimpi indah yang coba dipercayakan oleh rakyat kepada mereka. Tentu bukan tidak mungkin jika kondisi negara hukum kita tetap seperti ini, hukum yang didaku panglima tertinggi di republik ini, dibunuh oleh pengusungnya sendiri.

Tentunya pembunuhan hukum merujuk pada aturan yang dibuat tanpa ada jiwa keadilan di dalamnya, sehingga upaya untuk membangkang dari hakikat keadilan hukum itu sendiri, bisa mudah untuk dilakukan. Padahal dengan penuh kesadaran, kita mendaku bahwa "Negara Kita Adalah Negara Hukum", lantas dengan adanya perbuatan yang mengarah pada pembangkangan hukum di negeri ini, kita terjebak pada angan-angan kosong bahwa "Hukum adalah perangkat suci dan pemberi keadilan". Hilangnya substansi keadilan dalam hukum, menjadikan hukum yang dielu-elukan oleh kita tidak lagi pantas disebut hukum, seperti yang diucapkan oleh St. Agustinus (354-430) bahwa "Hukum yang tidaklah adil bukanlah sebuah hukum". Mungkinkah pembunuhan terhadap hukum ini terinspirasi dari "Seruan Zarathustra" sebagai salah satu manifestasi pemikiran bahwa "Tuhan telah Mati" yang ditulis oleh Nietzsche agar manusia dapat menjadi manusia sejati ? ah entahlah, harapanku adalah semoga ini hanya bagian dari overthinking masa quarterlife crisis-ku semata. Bagaimana denganmu ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun