Mohon tunggu...
Riski Pratama
Riski Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Buruh Harian diri Sendiri dan Penjinak Isu dengan tulisan yang tidak berfaedah

Belajarlah dari kesalahan. Jika kau belajar dari kebenaran maka tak ada yang namanya proses. Jika Ragu Pulang Saja !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2023, Solusi atau Masalah dalam Perkawinan Beda Agama

16 Agustus 2023   10:46 Diperbarui: 16 Agustus 2023   10:55 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkawinan menjadi suatu instrumen yang digunakan oleh individu untuk menjalin suatu relasi atau kontrak sosial dengan individu lainnya agar hubungan yang terbangun memiliki pakta kesepakatan bahwa keduanya telah menjadi satu kesatuan. Tentunya dalam suatu kesepakatan yang dinamakan perkawinan ini secara konseptual tidak ada ketentuan bahwa seseorag harus memiliki kesamaan dalam segala aspek kecuali sama-sama sepakat untuk menjalin suatu relasi yang kekal. Akan tetapi, konstruksi perkawinan yang sudah ada memberikan beberapa batasan dan prosedur tersendiri terkait bagaimana seseorang seharusnya menikah. Salah satunya adalah adanya kesamaan dalam aspek agama dan kepercayaan yang dianut. Sehingga, dalam hal ini perkawinan yang dikonsepsikan untuk bebas menjalin suatu relasi dengan individu lainnya harus dibatasi oleh aspek agama dan kepercayaan.

Walhasil pembatasan yang demikian kemudian dijadikan suatu ide dasar dalam mengkonstruksikan norma hukum yang ada dalam sebuah peraturan perundang-undangan tentang Perkawinan. Indonesia sendiri dalam mengkonstruksikan perkawinan juga memiliki ide dasar yang demikian. Sederhananya, dalam hal untuk melangsungkan sebuah perkawinan, seseorang harus konsekuen memiliki kesamaan dalam aspek agama atau kepercayaan yang dianut. Meskipun jika dilihat kembali dalam rumusan persyaratan perkawinan dalam Undang-Undang, substansi norma yang demikian tidak secara eksplisit dituliskan. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 2 ayat 1 yaitu "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu" (UU Perkawinan). Rumusan tersebut sama sekali tidak menyebutkan bahwa perkawinan harus dilangsungkan atas kesamaan agama atau kepercaaan yang dianut seseorang, akan tetapi pasal tersebut mengembalikan status keabsahan perkawinan kepada peraturan atau hukum di setiap agama masing-masing. Dan jika sudah demikian, maka memang setiap agama memiliki tafsir yang berbeda atas keharusan seseorang dalam melangsungkan perkawinan dengan kesamaan agama atau kepercayaan yang dianut.

Perkawinan Beda Agama menjadi polemik yang tidak kunjung usai di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan dikarenakan adanya ruang yang cukup lebar untuk seseorang melakukan hal demikian. Salah satu ruang tersebut adalah tidak adanya ketegasan terkait pengaturan perkawinan beda agama yang di Indonesia. Pada praktiknya sendiri, Indonesia berdasarkan penelitian ICRP bahwa terdapat 1.425 pasangan yang sudah melangsungkan perkawinan beda agama sejak tahun 2005 sampai tahun 2022. Dan sejak tahun 1986, Mahkamah Agung telah mengenalkan legalisasi atas praktik perkawinan beda agama yang sah melalui suatu penetapan peradilan. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 yang telah menjadi yurisprudensi atas kawin beda agama sah melalui penetapan pengadilan. Selain itu, pada Mei 2019, Ditjen Dukcapil Kemendagri mengeluarkan suatu surat edaran  yaitu Surat Ditjen Dukcapil Kemendagri No.472.2/3315/DUKCAPIL tertanggal 3 Mei 2019 yang malah membuka ruang untuk dapat disahkannya perkawinan beda agama dengan catatan bahwa salah satu pasangan dapat menundukkan dirinya pada agama atau kepercayaan yang dianut salah satu pasangan. Fakta empiris yang demikian menegaskan bahwa peluang untuk terbukanya perkawinan beda agama di Indonesia sendiri sangatlah besar, karena masih ada produk-produk hukum yang mengandung muti-tafsir.

Pengesahan perkawinan beda agama dapat dilakukan hanya berdasarkan suatu penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan. Pada praktiknya, akhir-akhir ini tidak sedikit Pengadilan yang menetapkan suatu perkawinan beda agama, seperti penetapan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau Pengadilan Negeri Surabaya. Untuk menghindari polemik berkelanjutan pada akhirnya Mahkamah Agung memutuskan untuk mengeluarkan surat edaran yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan. Surat edaran ini berisikan pakem yang harus diikuti oleh hakim dalam memutuskan perkara penetapan pencatatan perkawinan beda agama atau kepercayaan agar hakim mengembalikan pertimbangannya pada Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, sehingga berdasarkan pasal tersebut pengadilan tidak lagi dapat mengabulkan penetapan perkawinan beda agama. Berdasarkan substansi dari surat edaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sejak dikeluarkannya surat edaran tersebut, pencatatan perkawinan beda agama tidak lagi memiliki suatu alternative untuk dapat disahkan di Indonesia. Sehingga gambaran yang didapatkan atas keluarnya surat ini, kedepannya tidak akan ada lagi perkawinan beda agama. Benarkah demikian ? apakah hanya karena keluarnya SEMA ini, lantas semuanya sudah selesai ?.

Produk hukum SEMA merupakan aturan yang dikeluarkan dengan memiliki daya ikat terhadap internal lembaga semata. Sehingga dalam hal ini keberlakuan SEMA hanyalah mengikat para hakim dan pengadilan saja. Oleh karena itu, mengingat daya ikatnya yang lemah untuk mengikat keluar pihak selain pengadilan, SEMA No. 2 tahun 2023 akan berpotensi untuk mudah dilangkahi. Meskipun dalam kenyataannya beberapa pihak memandang bahwa SEMA No. 2 tahun 2023 ini merupakan upaya harmonisasi dari adanya ketentuan yang saling tumpah tindih terkait pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia. Namun, keberadaan SEMA ini justru mengancam hak sipil warga negara. Dalam hal ini perlu penulis tegasakan bahwa perkawinan merupakan hak asasi yang tidak dapat direduksi. Meskipun secara hakikat, perkawinan dibatasi pelaksanaannya oleh ketentuan agama masing-masing, negara tidak dapat menjadi pihak yang mengintervensi hak asasi tersebut. berdasarkan pendapat Bivitri Susanti dalam suatu diskusi yang diadakan oleh LDHK UNSRAT, penulis menangkap pendapat beliau terkait hal ini adalah "Ketika seseorang melangsungkan perkawinan dengan berpedoman pada ide bahwa saya hanya akan menikah dengan seseorang yang sama agamanya dengan saya itu merupakan suatu ide yang kembali pada diri masing-masing dan itu sangat bagus, saya pun juga senang. Akan tetapi, jika seseorang kemudian memilih untuk menikah dengan orang yang memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda dengan dirinya, negara tidak boleh memilih untuk absen dari kewajibannya untuk menjamin hak sipil dari warga negara tersebut. Karena pada dasarnya menikah tidak hanya terkait perbuatan hukum perdata saja, akan tetapi juga ada perbuatan hukum administrasi terkait pencatatan perkawinan tersebut. Sehingga dalam hal perbuatan hukum administrasi ini negara harus hadir untuk menunaikan kewajibannya". Berdasarkan pendapat demikian, kehadiran SEMA No. 2 tahun 2023 ini akan mereduksi terpenuhinya hak sipil warga negara dalam bidang pencatatan perkawinan dan negara yang seharusnya hadir serta menjamin terpenuhinya hak tersebut justru berlaku absen untuk menunaikan kewajibannya. Sehingga implikasi dari adanya SEMA No. 2 tahun 2023 ini akan berdampak pada timbulnya suatu problem sosial baru, dalam hal ini Bivitri Susanti juga mengemukakan pendapatnya yaitu "Adanya SEMA ini justru menimbulkan suatu problem baru, karena jika seseorang ingin mengesahkan perkawinan beda agama setelah adanya SEMA ini, maka seseorang yang bisa mengesahakannya terbatas pada dua orang saja, yaitu orang yang memiliki uang karena dapat menikah di luar negeri atau orang-orang yang mau pindah agama sementara hanya untuk mengesahkan perkawinannya kemudian kembali lagi ke agama yang dianut sebelumnya. Nah, orang dengan kategori kedua ini yang nantinya berpotensi menimbulkan suatu problem sosial yang baru". Problem sosial dengan munculnya individu yang mempermainkan agama hanya untuk proses formalisasi pengesahan perkawinan tentunya akan menjadi suatu kegagalan yang sangat fatal. Karena dengan adanya norma hukum perkawinan, harapannya adalah setiap orang dapat melangsungkan haknya dan haknya dapat terjamin. Justru karena adanya SEMA ini, seseorang pada akhirnya tidak memiliki akses terhadap haknya.

Upaya harmonisasi pencatatan perkawinan beda agama dengan dikeluarkannya SEMA No. 2 tahun 2023 justru menimbulkan suatu polemik baru, karena dengan adanya SEMA ini, hak-hak sipil yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah menjadi tereduksi. Selain itu, konsep pembatasan suatu hak asasi hanya berdasarkan Surat Edaran merupakan hal yang tidak dapat diterima. Terutama dalam substansi SEMA No. 2 tahun 2023 yang seolah-olah meniadakan substansi dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang selama ini menjamin dipenuhinya hak sipil warga negara tekait pencatatan perkawinan beda agama. Oleh karena itu penulis berpendapat dalam hal ini bahwa sudah seharusnya SEMA No. 2 tahun 2023 untuk dicabut. Jika memang terdapat urgensi untuk mengharmonisasikan peraturan pencatatan perkawinan, terutama dalam kasus perkawinan beda agama, setidak-tidaknya konstruksikan jalan keluar agar pencatatan perkawinan beda agama yang dilangsungkan tidak mereduksi hak-hak sipil warga negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun