Syihab al-Din Suhrawardi, pendiri Hikmah Isyraqiyyah, adalah seorang filsuf yang menawarkan pandangan radikal dalam filsafat Islam. Salah satu ide pokoknya adalah bahwa mahiyah (esensi) merupakan prinsip realitas, sedangkan wujud (eksistensi) hanya bersifat i'tibari (konseptual atau sekadar konstruksi mental). Pandangan ini menentang doktrin ashalah al-wujud (fundamentalisme eksistensi) yang kemudian dikembangkan oleh Mulla Shadra. Namun, pendekatan Suhrawardi terhadap wujud mengandung sejumlah kerancuan filosofis yang patut dikaji.
Dalam filsafat Isyraqiyyah, Suhrawardi berargumen bahwa eksistensi bukanlah entitas independen yang nyata. Ia menganggap wujud hanya sebagai kategori mental.
Suhrawardi mendasarkan filsafatnya pada konsep "cahaya," yang dianggap sebagai realitas paling mendasar. Dalam karyanya Hikmah al-Isyraq, ia mengajukan bahwa cahaya dan kegelapan membentuk dasar ontologis segala sesuatu. Eksistensi, menurutnya, hanyalah representasi mental dari berbagai tingkatan cahaya.
Dalam buku Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, Murtadha Muthahahari menyoroti kerancuan mendasar dalam pendekatan Suhrawardi terhadap wujud dan mahiyah. Berikut adalah beberapa poin kerancuan tersebut:
1. Kontradiksi Antara "Cahaya" dan Penolakan Eksistensi sebagai Realitas
Suhrawardi menganggap cahaya sebagai realitas tunggal dengan gradasi, namun menolak eksistensi sebagai sesuatu yang real. Hal ini menciptakan kontradiksi filosofis, karena karakteristik yang ia atribusikan kepada cahaya---seperti gradasi, substansi, dan kebutuhan akan relasi dengan "kegelapan"---sebenarnya lebih cocok diterapkan pada eksistensi. Para filsuf seperti Mulla Shadra kemudian menunjukkan bahwa "cahaya" dalam filsafat Suhrawardi sejatinya adalah eksistensi itu sendiri.
2. Reduksi Wujud menjadi Konsep Mental
Dengan menyatakan bahwa wujud bersifat i'tibari, Suhrawardi mengabaikan fakta bahwa realitas tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi konstruksi mental. Filsafat Muta'aliyyah menunjukkan bahwa eksistensi adalah fondasi segala sesuatu, termasuk mahiyah. Mahiyah tidak dapat aktual tanpa wujud, sehingga menjadikan mahiyah sebagai prinsip fundamental justru bertentangan dengan pengalaman dan realitas objektif.
3. Kesalahan Interpretasi Sejarah
Dalam bukunya, Muthahahari menyebutkan bahwa Sabzawari, yang dipengaruhi oleh Suhrawardi, berusaha menyelaraskan konsep "cahaya" dengan eksistensi. Namun, dalam hal ini Suhrawardi dengan tegas menunjukkan bahwa ia sendiri menolak eksistensi sebagai realitas. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat Suhrawardi sulit dipertahankan secara konsisten, bahkan oleh para pengikutnya.