Mohon tunggu...
Riski
Riski Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha belajar untuk menjadi pelajar yang mengerti arti belajar

Ada apa dengan berpikir?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kisah Hidup dan Inspirasi Naqoy: Dari Kesederhanaan Menuju Kesuksesan

21 Agustus 2024   15:43 Diperbarui: 21 Agustus 2024   16:20 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel yang kami tulis ini benar-benar hasil dari wawancara langsung dengan Bapak Nanang Qosim Yusuf, yang lebih dikenal sebagai Naqoy. Kami menegaskan bahwa seluruh informasi yang disampaikan dalam artikel ini bukanlah hasil rekayasa atau fiktif, melainkan merupakan narasi autentik berdasarkan pengalaman hidup beliau. Setiap detail dalam cerita ini dikumpulkan melalui percakapan mendalam, dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang perjalanan hidup dan pemikiran pak Naqoy. Kami berkomitmen untuk menjaga integritas dan keaslian dalam penyampaian informasi ini.

Kami berharap hasil wawancara ini tidak hanya menjadi sekadar cerita, tetapi juga dapat memotivasi dan menginspirasi pembaca untuk menjadikan kisah hidup Bapak Nanang Qosim Yusuf, atau Naqoy, sebagai cermin kehidupan. Pengalaman beliau dalam menghadapi tantangan hidup, berjuang untuk meraih pendidikan, dan membentuk masa depan yang lebih baik, semoga dapat menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang membacanya. Kami berharap narasi ini dapat menggugah semangat dan memberikan kekuatan bagi mereka yang sedang berjuang menghadapi tantangan hidup.

Pertanyaan kami: Bagaimana latar belakang Bapak, pengalaman hidup, dan kondisi apa yang paling memprihatinkan?

Nama saya Nanang Qosim Yusuf, yang lebih dikenal sebagai Naqoy. Lahir pada 3 Maret 1980. Saya adalah anak pertama, lahir di Brebes, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ayah saya bekerja sebagai tukang becak, sedangkan ibu saya adalah buruh tani yang sering kali mengambil pekerjaan dari orang lain, seperti memetik bawang. Kondisi ini justru menjadi motivasi bagi saya untuk kuliah dan merubah nasib keluarga. Sebagai anak pertama, saya merasa bertanggung jawab untuk merubah nasib keluarga saya.
Selama kuliah, saya tinggal di masjid UIN Syarif Hidayatullah, dari awal masuk hingga wisuda. Saya bekerja sebagai marbot, penjaga sepatu, dan pembersih toilet dari semester satu hingga lulus, karena pekerjaan tersebut memberikan penghasilan yang cukup untuk membayar kebutuhan kuliah dan makan sehari-hari. Saat itu, saya tidak mengetahui adanya kampus dengan beasiswa penuh, hanya mengetahui bahwa IAIN (sekarang UIN) adalah kampus berbayar. Karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar asrama, saya memilih untuk tinggal di masjid, meskipun tiga bulan pertama saya tidur di emperan masjid. Setelah empat bulan, saya dibantu oleh Prof. Nasaruddin Umar, ketua DKM masjid, yang mengizinkan saya tinggal di atas toilet masjid. Meskipun tidak digaji, saya merasa beruntung karena mendapat tempat tinggal. Saya menjalani hidup dengan penuh perjuangan, kadang dengan berpuasa karena keterbatasan ekonomi.
Kedua orang tua saya buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Hal ini menjadi dorongan kuat bagi saya untuk menulis buku, agar dapat memberikan inspirasi bagi orang lain, terutama mereka yang memiliki latar belakang serupa.

My Galery  (dokpri)
My Galery  (dokpri)

Lanjut kami: Kami pernah mendengar cerita tentang Bapak, ketika Bapak bersama seorang teman dan bertemu dengan seorang pria yang ternyata adalah ayah Bapak. Mungkin Bapak bisa menjelaskan secara rinci bagaimana kejadian tersebut?

Cerita tersebut saya tulis dalam novel saya yang berjudul "My Name is Naqoy." Kisah dalam novel tersebut adalah kisah nyata yang terjadi pada diri saya. Waktu itu saya pulang dari pesantren di Munjul, Cirebon. Ketika saya sedang berjalan dengan teman saya, kami berpapasan dengan seorang pria tua yang membawa tumpukan kapur. Pria tersebut menggunakan penutup wajah, tetapi saya langsung merasa kenal dengannya. Saya menghentikan langkah dan kembali untuk memastikan. Ternyata, pria tersebut adalah ayah saya. Meskipun pertemuan itu tampak biasa saja bagi saya, tetapi bagi ayah saya, pertemuan itu sangat berkesan. Sejak saat itu, ayah saya merasa malu dan berhenti bekerja sebagai tukang becak. Ayah menjadi murung dan tidak mau bekerja lagi.

Setelah beberapa hari, saya bertanya kepada ayah mengapa beliau berhenti bekerja. Ayah saya menjawab dengan tangis, mengungkapkan rasa malunya karena profesinya diketahui oleh teman-teman saya. Saat itulah, saya berjanji dalam hati bahwa suatu hari nanti, saya akan membuktikan bahwa kondisi ini akan berubah. Setelah itu, saya memutuskan untuk pergi ke Jakarta, kuliah dengan tekad untuk merubah nasib, meskipun kondisi ekonomi tidak memungkinkan. Dengan uang Rp65.000, saya berangkat ke Jakarta, tinggal sementara di rumah paman yang bekerja sebagai tukang ojek. Saya pun bekerja serabutan, termasuk menjual air minum untuk mengumpulkan uang guna membayar biaya kuliah.
Peristiwa ketika ayah saya menangis tersebut menjadi momen penting yang memotivasi saya untuk menulis buku "One Minute Awareness," yang mengajarkan bahwa dalam satu menit, komitmen untuk berubah bisa terbentuk. Dalam kehidupan, seseorang yang gagal mungkin memiliki ribuan alasan, tetapi orang yang sukses hanya membutuhkan satu alasan. Jika kita dapat merubah cara berpikir kita, maka kita akan maju. Dalam dunia pengembangan diri, kita mengenal istilah EMT, yaitu Ebility, Motivation, and Trigger. "Trigger" inilah yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Tanpa itu, bahkan tanpa masalah, kita akan cenderung menciptakan masalah sendiri dengan mencari-cari alasan. Satu menit melihat ayah saya menangis telah membuat saya berkomitmen untuk berubah.

Meskipun ayah saya sudah tiada, peristiwa itu masih segar dalam ingatan saya dan terus memotivasi saya untuk tidak berleha-leha. Dalam perjalanan hidup, kita membutuhkan setidaknya tiga orang model yang penting: orang yang menjembatani kita, orang yang bisa kita jadikan tempat bersandar, dan orang yang dapat diajak berbicara mengenai masa depan dan visi. Kita semua memiliki momen yang membuat kita memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan melanjutkan kuliah. Karena jika seseorang tidak "move on," maka ia akan "move no," alias tidak akan bergerak maju.

Lanjut Kami: Jika kita sudah menemukan "one minute awareness," bagaimana cara kita mempertahankannya? Sering kali di awal kita sudah memiliki alasan kuat, tetapi dalam perjalanan, alasan tersebut memudar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun