Pernahkah kalian melihat seseorang yang mengeluh sebelum melakukan tugasnya? Atau beberapa siswa yang lebih memilih menggunakan jasa joki tugas padahal tugas itu cukuplah mudah? Fenomena diatas merupakan sebagian contoh dari perwujudan generasi stroberi. Berbeda dengan generasi Z dan generasi milenial yang memisahkan generasi berdasarkan time bound, generasi stroberi lebih ke arah kultural apabila dipisahkan dengan generasi lainnya. Artinya, baik generasi Z maupun generasi milenial bisa saja terkena arus stroberi apabila memiliki ciri ciri generasi tersebut. Ciri dari generasi stroberi adalah setiap kali diberikan tugas, mereka akan mengelak dengan berjuta alasan dan teori. Padahal apabila disesuaikan dengan kondisi fisik dan pikirannya, mereka sebenarnya mampu melaksanakan tugas tersebut. Tentunya hal ini membuat masyarakat jengkel. Apalagi modelan personal seperti ini tidak hanya satu, melainkan banyak sekali tersebar di penjuru global.
Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mengenal apa itu generasi stroberi. Generasi stroberi adalah generasi yang memiliki ide dan gagasan yang luar biasa namun gampang rapuh, lelah, letih apabila diberikan semacam tekanan sosial. Dinamakan stroberi karena sesuai dengan ciri morfologis buah stroberi yang awalnya terlihat segar, manis, dan ranum namun dapat mengkerut seiring dengan berjalannya waktu. Istilah generasi stroberi lahir pada tahun 1990, awalnya istilah ini merupakan neologisme bahasa mandarin untuk masyarakat Taiwan yang lahir pada tahun itu. Pada waktu itu masyarakat Taiwan tidak memiliki semangat sebesar masyarakat daratan utama China dalam upaya pembangunan negara. Sehingga lahirlah istilah ini sebagai satir atau sindiran kepada masyarakat Taiwan yang pada waktu itu tengah berseteru lantaran perbedaan ideologi antara nasionalis demokratis dengan sosialis komunis. Ditinjau dari asal muasalnya, generasi stroberi bukan merupakan generasi periodik yang dipisahkan oleh rentang waktu seperti generasi X, Y, Z, dan milenial. Generasi stroberi lebih cenderung pada perubahan kultur atau kebiasaan beberapa kelompok orang yang ada di dunia. Istilah generasi stroberi mulai diperkenalkan pada tahun 1990, itu artinya antara generasi Y, Z, dan milenial terkena arus generasi tersebut. Namun mereka yang telah terbawa arus tidak sadar bahwa diri mereka sedang berada pada generasi stroberi, sehingga mereka tetap mendaulat bahwa mereka termasuk dari bagian generasi yang dipisahkan oleh rentang waktu seperti generasi X, Y, Z, dan milenial.
Lalu apa yang membuat beberapa orang berpikir demikian? Apa yang membuat seseorang secara tidak sadar terbawa oleh arus generasi stroberi? Ada beberapa faktor yang membuat mereka cenderung melemparkan tanggung jawab daripada menerimanya. Yang pertama adalah faktor globalisasi, berkembangnya teknologi yang semakin canggih membuat seluruh aktivitas manusia menjadi mudah. Namun hal itu juga yang menjadikan manusia semakin malas. Mereka merasa tugas yang diberikan dapat dibantu oleh teknologi sehingga mereka memilih untuk menunda mengerjakan tugasnya. Faktor kedua disebabkan oleh pemikiran "Orang lain saja bisa, mengapa harus saya?" Sehingga ketika orang itu  diberikan sebuah tugas, maka dia akan cenderung melemparkan tugas kepada orang lain. Faktor terakhir adalah rasa trauma yang pernah dihadapi, mungkin saja dulu orang itu pernah melakukan tugas yang sama dan hasilnya tidak memuaskan, sehingga ketika dia diberikan tugas yang semacam pasti akan menolak karena takut hal yang sama terulangi.Â
Generasi stroberi merupakan sebuah fenomena sosial yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari tua muda, miskin kaya, orang terkenal maupun biasa. Tiap orang dapat menjadi pelaku maupun korban dari adanya pemikiran generasi stroberi. Tergantung bagaimana caranya orang tersebut memanfaatkan momentum dalam mengalihkan sebuah tanggung jawab. Tentunya orang yang menjadi korban dari pemikiran stroberi akan merasa dirugikan, sebab secara tidak langsung ekspetasi dari korban langsung dipatahkan oleh pelaku. Pelaku dari pemikiran stroberi juga dapat merasa rugi apabila korban tidak lagi mempercayainya dan memutuskan untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. Mungkin bagi sebagian orang mengalihkan tanggung jawab adalah hal yang wajar, namun yang perlu digarisbawahi dalam fenomena ini adalah cara seseorang dalam menyikapi tanggung jawab tersebut. Ketika seseorang merasa dirinya sudah tidak mampu dalam melaksanakan tanggung jawab kemudian mengalihkannya itu adalah hal yang sangat umum, yang menjadi permasalahan adalah ketika seseorang diberi tanggung jawab namun enggan untuk melaksanakannya kemudian dialihkan kepada orang lain. Dengan kata lain, tanggung jawab perlu dilaksanakan terlebih dahulu, apabila dirasa tidak mampu, barulah tanggung jawab dapat diserahkan pada orang lain.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemikiran stroberi seperti ini perlu dihilangkan. Sebab akan menghambat proses pembangunan negara. Coba bayangkan, apa yang terjadi ketika masing masing orang saling melempar tanggung jawab padahal mereka sebenarnya mampu melakukannya? Tentunya negara akan menjadi kacau, semrawut, masing masing orang saling mengedepankan ego sendiri. Negara yang seharusnya maju karena rakyatnya punya potensi, malah jadi terbelakang dikarenakan pola pikir rakyatnya sendiri. Ketika sekolah menengah dulu kita pasti sering mendengar pasal 30 ayat 1, pasal tersebut berbunyi "tiap tiap warga negara berhak dan wajib ikut dalam usaha pertahanan dan keamanan negara." Meskipun pasal ini menerangkan tentang usaha pertahanan dan keamanan, namun yang perlu di highligt adalah dua frasa yang berbunyi "tiap-tiap warga negara" dan "berhak dan wajib". Itu artinya bahwa setiap warga negara khususnya Indonesia punya peranan yang sama, punya andil yang salam dalam membangun dan mempertahankan suatu negara. Dalam pasal 27 ayat 1, 2, 3 juga telah disebutkan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua pasal ini menunjukan bahwa tiap warga negara punya porsi dan tanggung jawab masing masing dalam usaha pembangunan negara. Yang mana secara tidak langsung Negara Kesatuan Republik Indonesia menuntut  masyarakatnya agar tidak pasif, Negara Kesatuan Republik Indonesia menginginkan masyarakatnya agar tidak menuntut hak saja, melainkan juga mengimplementasikan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga ketika ada seseorang yang enggan atau bahkan melempar tanggungjawabnya sebagai manusia sosial sekaligus warga negara, maka dipastikan orang tersebut telah menyalahi "fitrah" sebagai makhluk yang hidup berbangsa dan bernegara.
Atas beberapa landasan yuridis tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia ditakdirkan menjadi masyarakat yang sadar akan pembangunan. Munculnya generasi stroberi merupakan suatu bentuk ketidakberhasilan dalam sosialisasi batang tubuh undang undang. Generasi muda awalnya tidak tahu akan isi undang undang tersebut kemudian mereka kurang menghayati dan bahkan meninggalkan makna yang terkandung didalamnya. Lantas, apakah generasi stroberi seperti ini mampu membangun negeri? Jawabannya tentu bisa. Meskipun beberapa dari mereka memiliki attitude dan etos yang kurang baik, namun sebenarnya mereka unggul terhadap penguasaan teknologi. Perilaku mereka yang cenderung menunda-nunda merupakan bentuk efek psikologis dari teknologi yang serba cepat. Kebanyakan dari mereka tentunya berpikir "Mungkin nanti saja mengerjakannya, karena teknologi dapat menyelesaikan itu semua dengan cepat". Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara merangsang generasi muda agar tidak bermalas-malasan, misalnya dengan memberikan penghargaan maupun merancang kegiatan yang relevan dengan perkembangan dunia hari ini agar generasi muda tertarik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H