Entah kapan harinya, bagaimana situasinya, apa yang dilakukannya. Tidak ada satu pun kesan yang terlintas ketika kali pertama semesta membuat dunia kita mulai bersentuhan. Tak ada tatapan terpesona, tak ada degup yang terasa, semua masih layaknya hari-hariku yang biasa.
Waktu  berjalan sebagaimana biasanya, tanpa pernah memberi peringatan tentang rasa yang akan ada di depan mata.
Aku tak pernah sadar jika semesta sedang bekerja di dalamnya. Mendekatkan dua dunia yang serupa melalui berbagai cerita yang dibagi bersama. Entah bagaimana dua dunia ini saling beririsan satu sama lainnya. Saling bersentuhan, beriringan, dan mulai memberi nyaman.
Sampai ketika, ada waktu dimana hatiku memberi pernyataan pada pikiranku sendiri, "Seandainya saja. Pasti aku akan berjalan bersamanya." Satu simpulan yang melawan logika itu jauh terpendam di dalam hati. Tak pernah ingin kumunculkan kembali.
Dan hari-hari berjalan dengan abai. Tidak pernah ada peringatan dan tidak berusaha menangkap apapun yang terlintas dihadapan.
Ralat.
Ada peringatan. Ada pertanda.
Tapi sekali lagi, aku berusaha abai. Aku, sie keras kepala yang memegang logikaku yang sekuat baja, kala itu.
Dan tepat di tanggal yang sama di saat aku menuliskan ini, satu tahun yang lalu. Dia merusak pertahanan bajaku dengan rasanya yang sederhana.
Dia yang dunianya membuatku bercermin. Dia dengan keberanian dan kejujurannya untuk melawan logikanya sendiri.
Hari itu, hari pernyataan yang tak akan pernah kulupa sepanjang hidupku. Sie raga dengan logika yang serupa denganku, sedang melepas rasanya yang sederhana namun istimewa.
Dan beberapa hari setelah itu, aku lah yang akhirnya banyak bertarung dengan logikaku sendiri.
Memahami kejujuran dan keberaniannya membuatku lebih memahami isi hatiku sendiri. Dia yang tiada henti membuktikan rasanya dan aku yang tiada henti mencari jawaban atas pernyataannya. Iya. Dia tidak bertanya. Dia membuat pernyataan tanpa menuntut jawaban.