Jika tubuh dan hati manusia bisa bicara, mungkin mereka akan berteriak pada isi kepala, "Bisakah kamu bersikap egois kepada dirimu sendiri?"
Pikiran ini muncul dalam benak saya ketika suatu waktu dimana saya melihat pantulan tubuh gadis yang berdiri menghadap ke arah cermin seukuran tubuh orang dewasa. Lusuh. Terlihat tulang-tulangnya menonjol di beberapa bagian tubuh.Â
"Sejak kapan tubuhku menjadi seperti ini?"Â
Tubuh kurus itu milik saya. Saya yang kala itu seperti baru saja bisa membuka mata dan melihat apa yang terjadi pada tubuh saya.
Pikiran saya menyelam ke beberapa waktu belakangan. Mencari tahu apa yang membuat saya kehilangan banyak berat badan yang bahkan sebelum itu sudah cukup minim.
Saya baru kehilangan seseorang. Kemudian kehilangan nafsu makan. Berlanjut kehilangan akal dan pikiran. Lupa tentang hidup yang masih harus terus berjalan.
Membiarkan diri untuk tidak makan dengan teratur. Menyombongkan perut yang tak pernah merasa kelaparan. Memaksakan raga yang sebenarnya butuh pemulihan.
Sebelum sampai di titik sadar itu, saya tak pernah tahu dan mau mengakui bahwa saya sedang 'menyiksa' diri saya sendiri.
Memasang wajah bahagia untuk menutup luka yang masih menganga. Selalu punya alasan untuk tidak memberi tubuh ini makan. Menantang raga untuk bertahan dikala dia butuh rehat untuk bisa kembali menang.
"Apa yang sedang kamu lakukan kepada dirimu? Apakah membiarkan tubuhmu terbalut tulang seperti itu akan membuat yang hilang pasti kembali? Apakah pura-pura tak merasa sakit bisa membuatmu menang dalam perang? Apakah  kamu tetap bahagia ketika harus banyak mengorbankan diri?"