Entah. Kali ini, aku merasakan sesuatu yang egois datang dalam diriku. Sebenarnya, aku tak menyukai hal yang berbau memenangkan diri sendiri ini. Terkadang aku merasa ini yang benar dan kerap kali juga aku rasa semua kesalahan datang dari diriku. Dilematis, kritis tidak juga dan entahlah. Mungkin, kalian bingung sebenarnya aku ingin membahas soal apa?
Dalam tulisan ini. Membingungkan dan tak jelas arahnya, kata-kata yang berbelit. Kalau begitu? Menurutku tak usah dilanjutkan. Ini hanya tulisan yang berisi kata-kata kepuraanku menyoal wanita. Benar, ini tentang wanita.
Akhir-akhir ini aku menyukai dan tertarik dengan beberapa cerita yang menantang emosi saat membacanya. Setiap kali aku melihat cerita yang sedikit tidak berperikemanusian aku langsung mencoba untuk membongkarnya dan menyelesaikannya. Sangat ajaib cerita yang aku baca selalu berkaitan dengan seorang wanita, sepertinya wanita telah menjadi objek yang terbaik untuk dijadikan bahan cerita.
Berawal dari kisah novel yang mengisahkan seorang penjahat Lorca, dalam novel Memoar Penjahat Tak Dikenal karya Sihar Ramses Simatupang. Sedikit aku gambarkan, cerita ini adalah cerita tersadis yang pernah aku baca selama bertahun-tahun aku mengenal buku-buku fiksi. Novel ini sukses membuatku berpikir, masih adakah orang baik di dunia ini?
Mungkin karena latar belakang pendidikanku Jurnalistik, aku memasukkan frame tersebut saat membaca cerita ini. Terlebih lagi sang penulis juga wartawan. Entah, saat pertama membaca, aku berpikir bahwa kisah itu nyata dan benar-benar ada disebuah lokasi dan tak jauh dari keberadaanku.
Kota yang dipenuhi dengan penjahat, tak berpendidikan, di mana masyarakat begal hidup disana, tak sedikitpun tersentuh agama, tak ada penghargaan sedikitpun pada wanita, dan ditambah lagi dengan wanita-wanita yang sengaja menjual bebas harga dirinya demi kehidupan. Ini cerita menyedihkan dan terkejam yang pernah terdapat dalam otakku. Begitu kotornya dunia ini, tanpa hukum yang diterapkan bahkan sopan santun akan etika tidak dikenal dalam kisah Lorca.
Bisa dikatakan aku terkagum dengan konflik yang berhasil diciptakan oleh sang penulis, tetapi dari hati terdalamku aku mengkritik semuanya. Kehidupan yang kacau dan tak ada yang bisa memberikan pertolongan sedikitpun. Tak ada perubahan, dipicu dari masyarakat yang tidak ingin berubah. Kebaikkan sepertinya hanya dinilai dari uang. Lagi-lagi duniawi yang mendominasi kehidupan. Nilai-nilai agama yang seakan menghilang dan tak pernah ada.
Tak jauh berbeda setelah kisah Lorca menyusup ke dalam pikiranku, kisah seorang wanita Mesir bernama Firdaus mulai mengarungi benakku. Novel Perempuan Di Titik Nol yang dirangkai indah dengan bahasa sastrawinya penulis Nawal el-Saadawi. Aku semakin dibuat tercengang akan cerita kejamnya dunia Firdaus yang dinarasikan oleh sang penulis.
Seorang wanita yang terlahir dari keluarga jauh dari kata memberikan kasih sayang akan dirinya. Mendapatkan perlakuan yang tak beradab dari keluarganya sendiri, pelecehan seksual yang terjadinya sejak kecil oleh orang disekitarnya. Kisah yang diangkat dari kehidupan nyata ini, sukses membuat persepsiku kembali terguncang akan kebaikan seorang manusia.
Firdaus hidup dalam kebimbangan batin yang tak tertahankan, menikah dengan lelaki tua yang selalu menjadikan dia korban dari amarahnya. Pelik perjalanan kehidupan Firdaus untuk menemukan cinta sesungguhnya. Kekejaman telah berteman bahkan bersahabat dengannya sejak dini. Menurutku, hingga Firdaus tutup usia ia tak berhasil menemukan titik kebahagian hati yang sebenarnya, hanya ada kesuksesannya saat melawan kelemahan yang pernah ia berikan kepada para lelaki. Sampai ia terkandas pada dirinya.
Dengan pengertian dihargai dengan uang dan hanya Firdauslah yang mengetahui berapa harga dari sebuah kehormatannya melalui pekerjaan yang ammoral (pelacur). Bahkan, di akhir kisah hidupnya ia harus menerima hukuman mati dari pemerintahan. Akibat kasus pembunuhan yang dilakukan oleh tangan lembut tetapi mematikan milik Firdaus.
Aku tidak bermaksud mengajak kalian untuk menerka lebih dalam tetapi aku hanya ingin memaparkan sedikit kisah yang disampaikan oleh para penulis tentang kisah kehidupan para wanita. Bukan hanya tersakiti tapi tertindas dengan mudah. Aku tidak ingin mengacaukan gender yang mungkin sudah mulai membaik di negeri kita ini.
Tetapi, lagi-lagi aku hanya memberikan sedikit kisah yang menurutku sungguh menyakitkan. Kelemahan wanita seperti pandangan yang patut dilemahkan. Aku tak menyukai hal tersebut. Budaya memengaruhi segalanya, latar belakang, kehidupan keluarga dan yang terpenting adalah seorang ibu yang dapat mendidik anak-anaknya serta membangun peradaban. Tetapi, bukankah ibu adalah seorang wanita? Jika wanita lemah diperlakukan dengan kelemahan masih pantaskah kita menginginkan peradaban. Aku rasa jangan pernah berharap.
Lagi dan lagi wanita. Wanita bukan sekedar tameng dan perwajahan yang indah dalam sampul majalah. Wanita seharusnya menjadi fundamental dari sebuah kehidupan. Aku hanya sedikit berharap bahwa kisah-kisah yang aku pikirkan setelah berhari-hari membacanya itu tak pernah terjadi. Sudah saatnya wanita juga menjadi pembentuk peradaban yang kokoh bukan simbol kelemahan dan tak berdaya.
“Wanita berpendidikan itu penting dan sangat benar. Tetapi wanita dengan agama yang kuat akan selalu berhasil menjaga kehidupannya sendiri bahkan mereka dapat membawa kebenaran pada kehidupan yang sesungguhnya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H