Mohon tunggu...
Riska Dwi Setiyaningsih
Riska Dwi Setiyaningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Topik konten yang saya sukai mengenai politik dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai Untuk Penambahan Pembiayaan Kesehatan

22 Agustus 2023   19:03 Diperbarui: 22 Agustus 2023   19:09 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PKKMB AMERTA 2023 UNIVERSITAS AIRLANGGA

[Guratan Tinta Menggerakkan Bangsa]

Pemanfaatan pajak rokok dan bea cukai untuk penambahan pembiayaan kesehatan nasional di Indonesia sangat penting untuk memeriksa hal negatif dalam sistem ini karena perawatan kesehatan adalah aspek mendasar dari masyarakat, dan memastikan pendanaan yang memadai sangat penting untuk kesejahteraan suatu bangsa. Salah satu hal negatif utama pemanfaatan pajak rokok dan bea cukai untuk pembiayaan kesehatan nasional di Indonesia adalah alokasi dana yang tidak memadai. Walaupun pajak dan bea ini dikenakan pada industri tembakau, jumlah yang dialokasikan untuk perawatan kesehatan seringkali tidak mencukupi. Hal ini menyebabkan kurangnya sumber daya untuk fasilitas kesehatan, Akibatnya, kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan di negara tersebut menurun, yang pada akhirnya merusak efektivitas sistem dari kesehatan nasional itu sendiri. Kajian badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan tahun 2015, menunjukkan Indonesia menyumbang lebih dari 230.000 kematian akibat konsumsi produk tembakau setiap tahunnya (Kemenkes, 2019).

Hal negatif lain terletak pada sifat regresif pajak rokok. Meskipun pengenaan pajak yang tinggi pada rokok bertujuan untuk mengurangi konsumsi tembakau, Efek daripada pajak rokok dan bea cukai dinaikkan adalah akan berdampak pada sektor perusahaan tembakau. Yang dimana pada perusahaan tembakau akan terjadi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara besar-besaran. Hingga hal ini akan berdampak pada semakin banyaknya angka pengangguran di Indonesia. Wakil Kepala Bidang Humas PT Gudang Garam Ihwan Tricahyono dalam siaran persnya, Kamis 9 Oktober 2014, menyatakan bahwa Sebagian sumber daya manusia Gudang Garam Tengah menawarkan program pensiun dini hal ini disebabkan karena untuk menghindari kemungkinan yang lebih buruk. Pada waktu itu Gudang Garam mengalami penjualan yang merosot drastis. Kondisi ibi dipengaruhi regulasi pemerintah yang kurang menguntungkan bagi industri rokok nasional.

Pajak rokok menghambat kemampuan sistem untuk mengatasi pembiayaan kesehatan yang adil dan pada akhirnya merusak tujuan penyediaan akses kesehatan yang sama bagi semua warga negara. Penggunaan pajak rokok dialokasikan pada pelayanan Kesehatan dan juga penegak hukum. Kedua alokasi tersebut hanya 50% yang didanai. Maka dari itu, perlu dipertanyakan sisa dari pajak tersebut digunakan sebagai apa. kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam alokasi dan penggunaan dana yang dikumpulkan dari pajak rokok dan bea cukai. Tanpa mekanisme yang jelas untuk memastikan bahwa dana ini digunakan secara eksklusif untuk tujuan perawatan kesehatan, terdapat risiko pengalihan atau penyalahgunaan. Kurangnya transparansi merusak kepercayaan publik terhadap sistem.

Selain itu, apabila pemerintah hanya mengandalkan pajak rokok dan bea cukai untuk pembiayaan kesehatan menciptakan beban yang tidak proporsional pada segmen populasi tertentu. Penelitian telah menunjukkan bahwa individu berpenghasilan rendah lebih cenderung merokok dibandingkan dengan mereka yang berpenghasilan lebih tinggi. Konsekuensinya, menggunakan pajak rokok untuk membiayai perawatan kesehatan dapat mengakibatkan sistem regresif di mana orang miskin menanggung beban yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan mereka. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemerataan dalam pembiayaan kesehatan dan dapat memperburuk kesenjangan sosial ekonomi yang ada.

Secara keseluruhan, pemanfaatan pajak rokok daan bea cukai untuk penambahan pembiayaan kesehatan dapat dialokasi ke yang lainnya karena jika tetap dialokasikan kepada Kesehatan maka akan semakin banyak manusia yang meremehkan mengenai kesehatannya. Seperti pada data BPJS Kesehatan tahun 2019 Wamenkes menunjukkan bahwa jumlah kasus penyakit tidak menular akibat konsumsi tembakau adalah 17,5 juta kasus dengan biaya mencapai 16,3 triliun rupiah. Bagi para perokok juga akan berfikir bahwa merokok ada untungnya yaitu untuk pembiayaan kesehatan. Sehingga, tidak akan ada habisnya dan akan tetap bertambah jumlah manusia yang merokok. Aadapun jika pajak rokok dinaikkan hal ini akan berpengaruh pada SDM yang berada dibelakang Perusahaan yang akan menanggung PHK dari perusahaannya.

Referensi

Septian, T., & Djamaluddin, S. (2022). Pengaruh Kebijakan Earmarking Cukai Hasil Tembakau Terhadap Pelayanan Kesehatan Di Indonesia. Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, 6(2), 243-257.

Ningsih, W. A. (2022). Analisis Dampak Kebijakan Masyarakat Cukai Rokok Terhadap Pembiayaan Pengguna Bpjs Kesehatan Bagi Masyarakat Indonesia (Doctoral dissertation).

Kusyeni, R. D., Sari, N., Kumala, R., & Yurdani, Z. A. (2021). Efektivitas Program Earmarking Tax Atas Pajak Rokok Untuk Kesadaran Dalam Upaya Kesehatan Masyarakat di Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Reformasi Administrasi: Jurnal Ilmiah untuk Mewujudkan Masyarakat Madani, 8(1), 66-77.

Nama : Riska Dwi Setiyaningsih

Garuda : 5

Ksatria : 15

#Amerta2023 #AngkatanMudaKsatriaAirlangga #KsatriaAirlangga #UnairHebat #BanggaUNAIR #BaktiKamiAbadiUntukNegeri #Ksatria15_Garuda5 #ResonansiKsatriaAirlangga #ManifestasiSpasial #GuratanTintaMenggerakkanBangsa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun