Mohon tunggu...
Riska Dini Al Nandalucia
Riska Dini Al Nandalucia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hak Asasi Perempuan Dalam Keputusan Childfree Terhadap Tekanan Sosial

19 Desember 2024   19:48 Diperbarui: 19 Desember 2024   19:47 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika seorang perempuan sudah menyandang status sebagai seorang istri dalam sebuah pernikahan maka muncul adanya doktrin patriarki bagi perempuan dalam sebuah rumah tangga, perempuan dituntut untuk mempunyai keturunan, perempuan pada era patriarki di doktrin mempunyai anak merupakan suatu keharusan, hal ini turut serta menyeret bahwa tujuan pernikahan adalah mempunyai keturunan. Realitasnya hal tersebut masih marak terjadi pada masyarakat, bahkan tidak sedikit dari kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa mempunyai keturunan merupakan kodrat bagi pasangan yang sudah menikah, dalam konteks ini yang disoroti dan yang menonjol merupakan peran perempuan dalam sebuah rumah tangga, perempuan sendiri mempunyai kodrat untuk hamil dan melahirkan seorang anak. 

Perempuan sering kali menghadapi stigma sosial yang menuntut mereka untuk segera memiliki anak setelah menikah. Jika tidak, mereka kerap dianggap mandul dan disalahkan, meskipun masalah ini tidak selalu berasal dari pihak perempuan. Budaya patriarki memperkuat pandangan bahwa perempuan harus melahirkan dan menjadi ibu, sehingga mereka yang tidak dapat atau belum memiliki anak sering dilabeli negatif dan dikucilkan secara sosial.

Childfree adalah pilihan pasangan untuk tidak memiliki anak, berbeda dengan childless, yang terjadi karena alasan kesehatan seperti infertilitas. Di Indonesia, prinsip ini semakin dikenal dan diterapkan oleh beberapa pasangan yang ingin fokus pada hidup bersama tanpa anak. Mereka yang memilih childfree melakukannya atas dasar keputusan pribadi tanpa paksaan, sehingga bisa menikmati kebebasan dalam hal waktu, materi, dan kepuasan hidup lainnya. Mereka yang memilih childfree atau menjadi seorang yang childfree memberikan pengalaman yang berharga, dimana dalam hal ini mereka dapat hidup dengan bebas baik dari segi waktu, materi atau kepuasan lainnya, dan juga terdapat beberapa faktor dalam pengambilan keputusan untuk childfree yakni faktor individu (emosional), tidak suka anak kecil entah itu dari segi tingkah maupun perilakunya, adanya gangguan psikologis dan medis berupa trauma, fobia, penyakit psikis, faktor selanjutnya juga karena faktor ekonomi dalam faktor ini karena adanya pertimbangan berupa biaya hidup anak yang membutuhkan banyak biaya, mereka juga lebih memilih menghabiskan uang-nya dari hasil kerja untuk prestise untuk mereka sendiri.

Pilihan hidup childfree sering mendapat stigma negatif di masyarakat Indonesia, terutama karena dianggap egois, melawan kodrat, atau mengancam konsep keluarga tradisional. Perempuan menghadapi tekanan lebih besar, dengan stereotip sebagai terlalu materialistis atau hanya fokus pada karier. Pasangan childfree juga kerap dilabeli tidak harmonis, dan banyak yang beranggapan mereka akan menyesal di masa tua. Stigma ini berakar pada norma budaya, agama, dan kurangnya pemahaman tentang keberagaman pilihan hidup. Akibatnya, individu childfree sering mengalami tekanan mental, diskriminasi sosial, dan penghakiman. Untuk mengurangi stigma, diperlukan edukasi, penerimaan keberagaman, dan ruang aman bagi mereka yang memilih jalur hidup ini agar hak individu dihormati.

Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) memberikan landasan hukum yang penting terkait hak individu untuk memilih jalan hidupnya, termasuk dalam hal berkeluarga dan menentukan jumlah anak. Dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk memutuskan apakah mereka ingin memiliki anak atau tidak, tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak lain. Pemaksaan terhadap perempuan untuk memiliki anak, meskipun tidak sesuai dengan keinginan atau keadaan mereka, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pribadi mereka. Hal ini sejalan dengan prinsip hak atas kebebasan berpikir dan menentukan pilihan hidup yang dijamin oleh hak asasi manusia.

Secara keseluruhan, Undang-Undang Hak Asasi Manusia mendukung upaya untuk memberikan ruang bagi kebebasan individu dalam menentukan apakah mereka ingin memiliki anak atau tidak. Oleh karena itu, untuk mengurangi stigma, diperlukan edukasi yang lebih luas dan penerimaan keberagaman pilihan hidup. Hal ini penting agar hak individu dihormati dan dilindungi sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, serta untuk menciptakan ruang yang aman bagi mereka yang memilih jalur childfree.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun