Perkembangan zaman yang semakin pesat sehingga anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh budaya konsumtif. Masyarakat saat ini lebih memprioritaskan kebutuhan dan keinginan individu, sehingga sering kali tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Gaya hidup yang serba materialistis ini dapat mempengaruhi cara pandang anak-anak terhadap nilai-nilai penting seperti berbagi dan empati. Di dunia yang semakin terhubung dengan teknologi dan media sosial anak-anak sering kali berfokus pada gaya hidup pada kepemilikan dan status sosial, yang bisa menumbuhkan rasa egois dan ketidakpedulian terhadap sesama, sehingga sangat peting untuk mengajarkan nilai-nilai moral seperti berbagi dan empati sejak usia dini
Pendidikan moral yang melibatkan berbagi dan empati adalah fondasi yang krusial dalam membentuk karakter anak. Nilai-nilai ini mengajarkan anak-anak untuk memahami perasaan orang lain, menghargai keberagaman, serta menjunjung tinggi sikap tolong menolong. Seperti sudah banyak yang terjadi di tenggah masyarakat yang semakin konsumtif, keinginan yang mendorong untuk memiliki banyak barang dan status sosial yang tinggi yang semakin hari semakin meningkat. Orang tua dan pendidik memiliki peran penting untuk menanamkan pemahaman bahwa kebahagiaan tidak hanya terletak pada kepemilikan materi, tetapi juga dalam hubungan sosial yang sehat, saling mendukung dan membantu. Dengan mengajarkan berbagi dan empati bukan hanya penting untuk menciptakan kedamaian dalam lingkungan sosial tetapi juga membantu dalam lingkungan sosial tetapi juga membentuk generasi yang lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap sesama
Fenomena masyarakat konsumtif semakin nyata terlihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan anak-anak. Dalam banyak keluarga, anak-anak sering kali dibesarkan dalam lingkungan yang mempriporitaskan materi dan status sosial. Gaya hidup yang konsumtif berkembang pesat, yang didorong dengan iklan, media sosial, dan tren konsumen global, sehingga menciptakan kecenderungan untuk selalu mengejar barang-barang terbaru, teknologi canggih, dan gaya hidup mewah. Hal ini tidak hanya mempengaruhi perilaku orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang tumbuh dalam budaya ini.
Anak-anak di era digital kini lebih mudah terpengaruh iklan dan media sosial yang sering memperlihatkan kehidupan yang serba mewah, penuh barang-barang baru, dan standar hidup yang sangat tinggi. Dalam banyak kasus, mereka mulai terbiasa dengan pola pikir bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup datang dari memiliki banyak hal. Hal ini membuat mereka cenderung mengabaikan nilai-nilai moral seperti berbagi dan empati, yang lebih menekankan pada hubungan manusia dan kepedulian terhadap orang lain.
Realitas sosial ini tercermin dalam perilaku anak-anak yang mulai merasa kesulitan untuk berbagi, baik itu makanan, mainan, atau perhatian. Mereka lebih sering merasa terancam ketika memiliki sesuatu yang ingin mereka simpan untuk diri sendiri, karena mereka diajarkan untuk selalu mengejar lebih banyak tanpa melihat kebutuhan orang lain. Misalnya, di sekolah atau taman bermain, ketika seorang anak enggan memberikan sebagian makanan atau mainannya kepada teman, atau bahkan ketika mereka lebih memilih untuk menjauhkan diri dari kelompok yang tidak memiliki barang atau status yang sama, hal ini menjadi refleksi dari pola pikir konsumtif yang mereka serap dari lingkungan sekitar.
Selain itu, eksposur anak-anak terhadap media sosial, di mana mereka sering melihat postingan orang lain dengan barang-barang baru atau kehidupan yang terlihat sempurna, bisa menumbuhkan rasa tidak puas. Perasaan ini bisa membuat anak-anak kurang sensitif terhadap perasaan teman-temannya dan lebih fokus pada keinginan untuk memiliki barang yang dianggap "keren" atau "trending." Dalam konteks ini, empati yang seharusnya menjadi bagian dari nilai sosial mereka, justru tergeser oleh rasa cemburu dan kompetisi untuk memiliki lebih banyak.
Pentingnya mengajarkan nilai berbagi dan empati di tengah masyarakat konsumtif ini menjadi semakin jelas. Tanpa pengajaran yang tepat, anak-anak dapat tumbuh dengan pemahaman yang salah tentang kebahagiaan, yakni bahwa kebahagiaan hanya terletak pada kepemilikan materi dan status sosial yang tinggi. Oleh karena itu, pendidikan moral yang menekankan pentingnya berbagi, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan kepedulian terhadap sesama menjadi sangat penting untuk membantu anak-anak memahami bahwa kebahagiaan sejati terletak pada hubungan sosial yang saling mendukung dan berbagi kebahagiaan.
Pendidikan moral pada anak, terutama mengenai nilai berbagi dan empati, memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter mereka. Dalam konteks masyarakat konsumtif, di mana nilai-nilai material sering kali lebih dipentingkan daripada hubungan sosial, pengajaran nilai-nilai ini menjadi semakin vital. Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg dapat memberikan dasar dalam menganalisis pentingnya pengajaran berbagi dan empati pada anak-anak. Kohlberg menjelaskan bahwa moralitas anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, dan pada usia dini, anak-anak cenderung berfokus pada kepuasan pribadi. Oleh karena itu, untuk mengajarkan mereka tentang berbagi, anak-anak perlu dibimbing untuk memahami bahwa kebahagiaan sejati terletak pada hubungan sosial yang harmonis, bukan hanya pada kepemilikan barang.
Dalam teori pembelajaran sosial Albert Bandura, anak-anak belajar banyak dari observasi terhadap perilaku orang dewasa di sekitar mereka. Dalam masyarakat yang sangat konsumtif, di mana anak-anak terpapar pada pola hidup yang sering kali berfokus pada pembelian barang dan status sosial, orang dewasa harus menjadi contoh yang baik. Jika anak-anak melihat orang tua atau guru mereka berbagi dengan orang lain, menunjukkan empati, dan memprioritaskan kebahagiaan bersama, mereka akan lebih cenderung untuk meniru perilaku tersebut. Bandura menekankan bahwa model sosial yang positif dapat membentuk perilaku moral anak dengan cara yang sangat efektif, terutama jika nilai-nilai tersebut diajarkan sejak usia dini.
Teori kognitif sosial Lev Vygotsky juga relevan dalam konteks ini. Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif anak, dan dia percaya bahwa anak-anak belajar melalui pengalaman sosial mereka. Di tengah masyarakat konsumtif, anak-anak cenderung meniru perilaku yang mereka lihat, baik itu berbagi atau mengutamakan kepemilikan materi. Oleh karena itu, untuk mengajarkan empati dan berbagi, interaksi sosial yang positif dengan teman sebaya dan orang dewasa sangat penting. Vygotsky juga mengemukakan konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD), yang menunjukkan bahwa anak-anak dapat mencapai pemahaman moral yang lebih baik dengan dukungan orang dewasa yang tepat. Dalam hal ini, orang dewasa berperan dalam membantu anak-anak berkembang dengan memperkenalkan nilai-nilai berbagi dan empati melalui pengalaman sosial yang nyata.
Adapun teori yang terakhir yakni teori Maslow tentang hierarki kebutuhan manusia dapat memberikan pandangan lebih dalam tentang mengapa berbagi dan empati sangat penting diajarkan sejak dini. Maslow menyatakan bahwa setelah kebutuhan dasar seperti makan dan tempat tinggal terpenuhi, kebutuhan sosial, termasuk rasa cinta dan hubungan yang positif, menjadi sangat penting bagi individu. Dalam masyarakat konsumtif, kebutuhan ini sering kali terabaikan karena terlalu banyak fokus pada kebutuhan materi. Dengan mengajarkan anak-anak tentang berbagi dan empati, kita membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan sosial dan emosional mereka, yang pada gilirannya mendukung perkembangan pribadi mereka secara keseluruhan. Pembelajaran ini membantu anak-anak memahami bahwa hubungan yang sehat dan saling mendukung jauh lebih bernilai daripada sekadar kepemilikan barang materi.