Tahun 2024 menjadi momen yang sangat penting dalam sejarah politik Indonesia. Pemilu serentak yang melibatkan pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah secara bersamaan telah menjadi bukti nyata dari demokrasi yang terus berkembang di tanah air. Pemilu kali ini tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana teknologi, khususnya media sosial, telah mengubah cara komunikasi politik dilakukan. Perubahan besar terlihat pada pergeseran dari media konvensional seperti televisi, radio, dan koran, ke platform digital seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan Twitter. Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga menjadi arena utama bagi politisi untuk membangun citra, menarik perhatian publik, dan mempengaruhi opini masyarakat. Dengan lebih dari 190 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia pada tahun 2024 (data dari We Are Social), platform ini menawarkan peluang besar bagi politisi untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama generasi muda yang menjadi mayoritas pengguna media sosial. Generasi muda, yang sering dianggap sebagai pemilih rasional, memiliki peran strategis dalam menentukan arah politik bangsa.
Politisi kini memanfaatkan media sosial dengan berbagai cara kreatif untuk menarik perhatian publik. Dari video pendek di TikTok yang menampilkan gaya santai hingga infografis di Instagram yang informatif, strategi kampanye politik telah berevolusi. TikTok, misalnya, menjadi salah satu platform paling populer karena formatnya yang interaktif dan menghibur. Para politisi muda sering kali memanfaatkan tren seperti tantangan tarian atau lip-sync untuk menyampaikan pesan politik mereka dengan cara yang lebih ringan dan menghibur. Selain itu, media sosial memungkinkan politisi untuk menyesuaikan pesan mereka dengan isu-isu lokal yang relevan. Di daerah dengan permasalahan lingkungan, misalnya, seorang politisi dapat menyoroti kegiatan pelestarian alam atau upaya mereka dalam mengatasi polusi. Hal ini memperlihatkan bagaimana media sosial memberikan fleksibilitas dalam menyampaikan pesan yang lebih personal dan relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Di Indonesia, pencitraan politisi sering kali berfokus pada narasi "merakyat". Contohnya, unggahan yang memperlihatkan politisi sedang makan di warung sederhana, berbicara dengan petani, atau ikut serta dalam aktivitas tradisional. Narasi ini dirancang untuk menciptakan kesan bahwa politisi dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, beberapa pengamat menyebut bahwa narasi ini sering kali dilakukan hanya untuk kebutuhan kampanye, tanpa adanya tindakan nyata yang mendukung klaim tersebut.
Banyak politisi yang memanfaatkan media sosial untuk menonjolkan isu-isu lokal yang relevan dengan konstituen mereka. Misalnya, di daerah dengan masalah lingkungan, politisi akan menyoroti kegiatan mereka yang berkaitan dengan pelestarian alam. Hal ini memperlihatkan bagaimana sosial media memungkinkan politisi untuk menyesuaikan pesan mereka dengan kebutuhan audiens tertentu.
Mantan presiden Indonesia yaitu Joko Widodo adalah contoh nyata bagaimana pencitraan politik dapat dikelola secara strategis melalui platform digital. Dalam dua periode pemerintahannya (2014-2024), Jokowi menggunakan media sosial untuk menciptakan citra sebagai pemimpin yang sederhana, merakyat, dan bekerja keras. Jokowi secara rutin memposting foto dan video kegiatannya di media sosial, seperti kunjungan ke pasar tradisional, peninjauan proyek insfrastruktur, atau momen bersama keluarganya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan personal menambah kesan "merakyat".Â
Jokowi berhasil membangun citra positif di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Sosial media juga digunakan untuk memperkuat narasi tentang keberhasilannya dalam pembangunan infrastruktur. Tetapi meski telah berhasil menarik perhatian, Jokowi tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak menilai bahwa pencitraan ini hanya sebuah "gimmick" dan kurang mencerminkan solusi nyata terhadap permasalahan kompleks yang dihadapi bangsa.
Contoh lainnya terdapat Prabowo Subianto, tokoh politik yang sangat berpengaruh di Indonesia saat ini. Prabowo memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan dirinya dan program-program politiknya. Strategi ini penting dalam era digital karena media sosial memungkinkan jangkauan luas dan interaksi langsung dengan masyarakat. Prabowo sering memposting foto atau video yang menampilkan aktivitasnya, seperti kunjungan ke daerah, pertemuan dengan masyarakat. Narasi yang dibangun biasanya bersifat inspiratif, patriotik, atau emosional untuk menarik perhatian dan simpati publik. Media sosial menjadi jembatan untuk Prabowo melakukan kampanye, yang bekerja sama dengan para influencer dan content creator lainnya untuk menyebarkan pesan politiknya secara lebih luas. Prabowo juga menggunakan media sosial untuk menyampaikan visi, misi, dan program politiknya. Platform ini efektif untuk menjelaskan gagasan secara mendalam dan menjangkau berbagai kelompok masyarakat tanpa batasan geografis. Tetapi Prabowo juga tidak lepas dari komentar kritik dari warga Indonesia, banyak warga yang merasa bahwa konten di media sosial terlalu berfokus pada sisi visual dan narasi heroiknya, tanpa memperlihatkan hasil nyata dari program atau janji politiknya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa media sosial lebih digunakan untuk membangun citra pribadi daripada memberi solusi yang konkret. Terdapat anggapan bahwa media sosial lebih sering digunakan untuk kampanye simbolis atau slogan-slogan politik dibandingkan dengan diskusi mendalam tentang isu-isu penting seperti ekonomi, pendidikan, atau kesejahteraan rakyat.
Fenomena buzzer dalam komunikasi politik di Indonesia merupakan salah satu aspek menarik dari perkembangan dunia digital dan media sosial. Secara umum, buzzer adalah individu atau kelompok yang dibayar atau diberi insentif untuk menyebarkan informasi tertentu, terutama melalui media sosial demi mempengaruhi opini publik. Buzzer sering digunakan untuk membentuk atau mengarahkan opini publik terhadap isu tertentu, seperti mendukung calon politik, kebijakan pemerintah, atau menyerang lawan politik. Mereka mempromosikan citra positif tokoh politik tertentu atau partai dengan narasi yang dirancang untuk menarik simpati publik. Terdapat sisi positifnya yaitu buzzer dapat membantu publik mengenal tokoh politik atau kebijakan yang layak didukung, menyediakan informasi atau menggalang dukungan terhadap isu tertentu. Tetapi terdapat juga sisi negatifnya yaitu adanya penyebaran hoaks atau informasi yang bersifat manipulatif yang dapat merusak kepercayaan masyarakat, aktivitas buzzer sering memperuncing konflik di masyarakat, menciptakan kubu-kubu yang berlawanan.
Di Indonesia, regulasi terkait buzzer dan aktivitasnya masih menjadi tantangan besar. Pemerintah telah berupaya menangani hoaks melalui UU ITE, tetapi fenomena buzzer sulit diatasi karena sering bekerja di bawah radar atau melalui platform global seperti Twitter, Facebook, dan Instagram. Masyarakat menjadi lebih kritis terhadap informasi yang beredar di media sosial, terutama yang berasal dari akun anonim atau mencurigakan. Literasi digital menjadi kunci agar publik dapat memilah informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh propaganda buzzer. Fenomena buzzer ini mencerminkan dinamika politik modern yang semakin erat kaitannya dengan teknologi, tetapi juga menuntut pengawasan etis agar komunikasi politik tetap sehat dan transparan.
Dalam konteks komunikasi politik, teori Agenda Setting yang dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw menjadi sangat relevan. Teori ini menyatakan bahwa media memiliki kemampuan untuk menentukan isu-isu yang dianggap penting oleh publik. Di era digital, politisi berperan sebagai pembuat agenda yang menentukan topik apa yang harus menjadi perhatian audiens mereka. Misalnya, seorang kandidat presiden mungkin memilih untuk fokus pada isu pendidikan atau kesehatan dalam kampanyenya, tergantung pada apa yang dianggap penting oleh masyarakat pada saat itu. Namun, algoritma platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube juga memiliki peran besar dalam menentukan apa yang dilihat oleh pengguna. Algoritma ini didesain untuk memprioritaskan konten yang dianggap menarik berdasarkan preferensi pengguna. Hal ini menciptakan tantangan baru bagi politisi untuk memastikan bahwa pesan mereka tetap relevan dan dapat bersaing dengan berbagai konten lain yang tersedia di media sosial. Teori Framing yang diperkenalkan oleh Erving Goffman juga memiliki peran penting dalam strategi pencitraan politik. Framing merujuk pada bagaimana informasi disajikan untuk membentuk sudut pandang audiens terhadap suatu isu. Dalam konteks politik di media sosial, framing sering kali digunakan untuk menciptakan narasi tertentu yang bersifat heroik atau inspiratif. Misalnya, seorang politisi yang mengunjungi daerah bencana sering kali diframing sebagai seorang penyelamat. Visual seperti foto atau video yang menunjukkan interaksi langsung dengan korban bencana digunakan untuk menonjolkan empati dan kepedulian politisi tersebut. Dalam kasus lain, politisi yang terlibat dalam kegiatan sosial seperti pembagian sembako atau program bantuan sering kali diframing sebagai tokoh yang peduli terhadap rakyat kecil.
Salah satu tantangan terbesar dalam pencitraan politik di media sosial adalah menjaga keseimbangan antara keaslian dan strategi pemasaran. Publik semakin kritis terhadap konten yang dianggap terlalu dibuat-buat atau tidak autentik. Selain itu, media sosial juga menjadi ladang subur bagi penyebaran informasi palsu dan kampanye hitam.