Mohon tunggu...
Riska Amelia
Riska Amelia Mohon Tunggu... Freelancer - Absurd

Seorang yang suka dengan sastra dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya

20 Mei 2022   21:40 Diperbarui: 20 Mei 2022   21:53 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Di teras depan rumah ibunya Cahaya termenung. Wajahnya yang tak pernah memunculkan emosi itu sedikit menengadah ke ufuk Barat dan memandangi matahari yang akan segera membenamkan diri. Dalam suasana itu Cahaya telah bergelayut, tampaknya. Kedua bola matanya yang hitam dipenuhi ketegasan itu untuk seketika rapuh seperti pecahan kaca-kaca. Tak terbendung air mata keluar dan membuatnya menangis tersedu. Cahaya menangis dan mencurahkan semua perasaannya kepada semesta di sore itu tanpa satu pun pengecualian. Semua perasaannya ia beritahukan. Baik itu yang paling dibencinya maupun yang teramat dicintainya dengan harapan dirinya bisa merasa lebih baik.


Namun siapa pun bisa tahu bahwa bukan itu yang diharapkan Cahaya. Siapa pun yang---bila menjadi Cahaya, tidak ingin harapan seperti itu. Tapi, sudah cukup sore itu Cahaya bisa menangis. Selama ini, bahkan ketika tidak seorang pun menguasai waktunya, Cahaya tidak pernah bisa menangis. Selama ini dirinya terlampau keras dan tegar di usianya yang masih belum dewasa.


Masih dalam gelayut kesedihannya Cahaya menungkupkan kedua kakinya dan meringkuk. Di temani hanya desiran angin yang bertiup landai dan lembap tak membuat Cahaya merasa sepi dan kedinginan. Cahaya tetap meringkuk dan membenamkan diri dalam lamunannya yang menyedihkan. Berharap seseorang bisa mendengar. Berharap seseorang bisa melihat Cahaya yang rapuh dan masih anak-anak. Namun, bahkan ketika hari sudah larut, dan sekelompok burung hama sudah terbirit-birit pulang di atas cakrawala, tidak ada siapa pun yang datang. Tidak ada satu pun wajah yang bisa dilihat oleh Cahaya selain daripada wajah malam yang mencekam.


"Kenapa rumahku kian sunyi?" lirih Cahaya diujung isaknya sambil memandangi sekitar yang sudah gelap dan lelang.


Setitik cahaya kecil berwarna kuning terbang dan melintas tepat di hadapan Cahaya. Ragu-ragu Cahaya mengikuti kunang-kunang itu. Tapi, tak lama setelah ia mencoba menangkapnya, kunang-kunang lain segera bermunculan seperti gugusan bintang-bintang. Cahaya bergeming. Matanya seakan bingung harus melihat ke mana mengingat malam itu lebih dari seribu kunang-kunang datang menemuinya. Tapi, tangan Cahaya seakan tak tahan untuk tak menangkap satu  dari banyaknya kunang-kunang itu dan segera memasukkannya ke dalam stoples.


"Setidaknya aku membutuhkan sedikit cahaya di kegelapan." Gumam Cahaya sembari segera menangkap kunang-kunang lain dan memasukkannya lagi.


Tak terasa waktu sudah berlalu lama. Saat kunang-kunang sudah menumpuk di  dalam stoples dan Cahaya sudah merasa lebih baik---seorang wanita datang dari kegelapan dan membawa lentera yang menerangi perjalanannya. Wanita itu tampak murung dan semrawut, semua bajunya pun kotor. Begitu juga dengan rambutnya---acak-acakan. Seperti seorang yang habis dikejar-kejar penjahat atau binatang buas.


"Ibu," panggil Cahaya senang. Kedua bola matanya hampir-hampir akan pecah. Mungkin karena dirinya merasa sangat senang dan haru melihat ibunya tidak jadi meninggalkannya.


Meski begitu wanita yang ada di hadapan Cahaya itu tidak menggubris. Sambil membuang muka, wanita itu hanya terdiam tanpa sedikit pun menunjukkan raut penyesalan.


"Bu, Cahaya senang melihat ibu kembali. Lihatlah ini! Aku mengumpulkannya persis seperti yang pernah ibu kumpulkan untukku, dulu." Ucap Cahaya sambil menujukan stoples kunang-kunangnya  kepada ibunya.


Tapi, wanita itu terlalu keras kepala. Terlalu dingin dan tidak waras, sehingga saat Cahaya mencoba memperlihatkan stoples itu kepadanya, wanita itu segera menepisnya dari hadapannya sehingga stoples tersebut terjatuh dan pecah. Semua kunang-kunang yang telah dikumpulkan Cahaya pun terbebas begitu saja dan pergi meninggalkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun