Bom kembali meledak di Bandung, Jawa Barat. Dengan tuntutan  ingin membebaskan temannya yang ditahan Densus 88, Yayat Cahdiyat alias Dani alias Abu Salam, meledakkan bom di Taman Pandawa. Tak lama kemudian, Yayat berlari ke kantor kelurahan yang tidak jauh dari taman Pandawa. Di kelurahan itulah sempat terjadi baku tembak dengan petugas. Yayat yang lahir di Purwakarta itu, akhirnya menyerah setelah tertembak. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Yayat menghembuskan nafas terakhirnya.
Bom yang diledakkan di Cicendo, Bandung, Jawa Barat ini, memang mempunyai daya ledak rendah. Berbeda dengan bom panci yang ditemukan di Bekasi, akhir tahun 2016 lalu. Namun, pelaku peledakan ini ternyata masih merupakan jaringan lama. Dia adalah masih bagian dari jaringan jamaah anshorut daulah (JAD). Jaringan inilah yang meledakkan kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, dan Samarinda. Jaringan yang dikomandoi oleh Aman Abdurahman ini, telah menyatakan berkiblat kepada ISIS.
Jika Yayat merupakan bagian dari jaringan teroris lama, bisa dikatakan benih terorisme itu masih belum sepenuhnya hilang. Yayat pernah ditangkap dan menjadi terpidana terorisme selama 3 tahun. Kemunculan jaringan lama ini, bisa jadi karena jaringan baru mulai berkurang. Atau memang radikalisme masih mengakar. Kehidupan penjara ternyata tidak bisa merubah pola pikir seseorang. Yayat yang sempat ikut pelatihan militer di Aceh Besar ini, tetap memilih menjadi radikal. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Suhanda. Pelaku bom Samarinda, yang juga bagian dari JAD, memilih muncul kembali meski sebelumnya sempat masuk penjara karena kasus terorisme. Munculnya jaringan lama untuk menunjukkan eksistensinya ini, tentu patut diwaspadai.
Paham radikalisme memang masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Melalui paham inilah, kemudian melahirkan praktek intoleransi dan yang lebih ekstrem lagi melahirkan terorisme. Meski semuanya itu bukanlah hal baru bagi Indonesia, tapi dampak dari radikalisme itu begitu mengerikan. Faktanya, meski negeri ini sangat mengedepankan toleransi, praktek intoleransi masih sering dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Masih ada kekerasan yang dirasakan oleh kelompok Ahmadiyah. Jemaat gereja Philadephia dan gereja Yasmin juga masih belum bisa menjalankan ibadah, setelah gerejanya disegel selama bertahun-tahun.
Diluar praktek intoleransi, radikalisme juga melahirkan terorisme. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, Indonesia masih saja menjadi target utama, untuk penyebaran paham radikalisme ini. Setelah era Dr. Azhari yag tertembak di Malang, regerenasi pelaku teror terus berjalan. Terbukti, pelaku-pelaku bar uterus bermunculan. Bahrun Naim misalnya, mencoba untuk selalu eksis, disaat generasi tua pelaku teror tidak muncul. Dan kemunculan Bahrun Naim yang berafiliasi dengan ISIS ini, kemudian sering didomplengi oleh generasi tua. Termasuk pelaku bom Bandung, ternyata masih berhubungan dengan JAD yang juga berafiliasi dengan ISIS.
Masih adanya tindakan teror di Indonesia, membuktikan bahwa bibit-bibit radikalisme masih belum sepenuhnya hilang. Diperlukan peran semua pihak, untuk membasmi benih-benih radikalisme yang masih ada di masyarakat kita. Mari kita terus dengungkan toleransi antar sesama. Perbedaan tidak bisa dimaknai sebagai sumber persoalan, melainkan anugerah dari Allah SWT. Dengan membasmi benih radikalisme, secara tidak langsung kita telah aktif menyelamatkan generasi berikutnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI