Â
Kita patut bersyukur, selama lima tahun ini kita tidak mengalami peristiwa terorisme yang spektakuler. Terakhir adalah peristiwa bom Surabaya yang terjadi pada tahun 2018. Setelah itu, tidak ada lagi peristiwa terorisme yang menelan korban jiwa.
Namun sisi gelapnya adalah, awal tahun ini ada ratusan orang ditangkap karena disinyalir hendak atau berniat melakukan kegiatan terorisme. JUmlah ini tidak main-main karena jika sampai ditangkap, pasti ada indikasi kuat soal terorisme sudah ada di kantong aparat hukum. Karena aparat pasti sudah mempelajari selama beberapa saat sebelum ditangkap, baik soal jaringan komunikasi maupun ekonomi. Jadi penangkapan terduga teroris itu tidak semata dari ruang kosong.
Artinya, niat untuk merusak kehidupan harmony antar komponen masyarakat memang ada dan nyata. Bukti yang paling gres adalah ditangkapnya terduga teroris yang masih berstatus pelajar di wiayah Batu Malang. Padanya disita sekian banyak bahan  kimia yang jika dirakit bisa menjadi bahan peledak. Setelah dilakukan pendalaman oleh kepolisian, didapat informasi bahwa sang pelaku berniat akan meledakkan dua rumah ibadah di Malang.
Tindakan terorisme berawal dari sikap dan pandangan radikal yang mengkristal. Sikap dan pandangan radikal berasal dari pandangan intoleran yang melingkupinya. Dari sekian penelitian, memang didapat bahwa sikap intoleran banyak dijumpai di beberapa kota di Indonesia. Celakanya, sikap dan pandangan itu sering menjadi pandangan banyak oengajar di Indonesia. Sehingga kita bisa menjumpai banyak kesaksian di media massa dan media sosial bahwa orangtua  atau dinas terkait mendapati banyak bahan ajar yang memberikan narasi yang bersifat intoleran seperti kafir dlsb.
Setiap tindakan terorisme  menimbulkan ketidaknyaman. Kita mungkin masih ingat bom Bali yang menyasar wisatawan asing yang saat itu di club malam. Para pelaku terorisme mengkatagorikan mereka sebagai kafir, sehingga layak untuk dibunuh. Ini pandangan mereka.
Namun yang terjadi adalah tindakan pengeboman itu selain menewaskan para wisatawan itu, juga para pekerja yang kebanyakan beragama Hindu dan Islam yang menimbulkan perasaan traumatik di benak keluarga korban. Banyak anak yang harus menjadi anak yatim seketika karena peristiwa itu.
Pada momentum Natal ini, marilah kita menghargai keyakinan dan asal dari seseorang (etnis). Di titik ini, toleransi mutlak perlu . Kita ditakdirkan di negara dengan beragam perbedaan, sehingga adanya perbedaan tak terhindarkan. Mari kita selalu jaga toleransi agar kita dan keluarga selalu harmoni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H