Bangsa kita sudah nyaris menyentuh 80 tahun Merdeka. Pada rentang itu, banyak hal yang telah kita lampaui bersama. Diantaranya adalah soal keberagaman, baik beragamnya budaya maupun agama.
Pada masa pembentukan Indoensia, para proklamator dan pemuda yang mendukung penuh kemerdekaan Indonesia telah saling paham soal cita-cita kebangsaan. Sehingga mereka sering menarih persatuan Indoensia di atas segalanya. Sehingga waktu itu, para proklamator juga batal menggunakan piagam Jakarta yang menyertakan syariaat Islam dalam Pancasila, mengingat tidak semua penduduk Indonesia beragama Islam , terutama di wilayah-wilayah timur yang jauh dari Jawa. Tapi harus diakui bahwa mereka juga warga Indoensia dan menjadi bagian terhormat dari negara ini.
Kita harus mengakui bahwa visi para proklamator itu sangat jauh dan mulia serta jauh dari rasa ego. Mereka juga menghitung pihak-pihak yang mungkin sangat kecil (minoritas) . Mereka tidak egois dan sangat moderat. Karena itu, setelah proklamasi dan menetapkan falsafah negara adalah Pancasila , negara kita segera berbenah dan melangkah maju sebagai negara Merdeka.
Pancasila sendiri adalah intisari moral dan kepribadian bangsa kita, yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain. Dia pondasi yang kokoh sekaligus lentur untuk memerangi perubahan.
Hanya saja, zaman berganti dan ada pihak-pihak yang ingin mengikisnya melalui agama yang dikomodifikasi menjadi politik identitas. Ini yang selalu dimain-mainkan oleh pihak tertentu. Pihak itu juga sering mengingatkan umat bahwa Islam adalah mayoritas dan umat lain adalah minoritas. Ini adalah prespektif yang bisa merusak harmoni kebangsaan kita yang beraneka.
Kita tidak usah memungkiri bahwa ini terjadi di negara kita. Peristiwa bom Bali dan beberapa peristiwa radikal lainnya sampai pada bom yang mengguncang Surabaya enam tahun lalu. Kini, meski tidak ada lagi aksi radikal yang mengguncang namun kehidupan berbangsa kita diganggu oleh banyaknya aksi intoleransi. Dalam satu minggu ini banyak terjadi aksi intoleransi di beberapa kota. Mungkin juga ada yang tidak naik kepermukaan .
Marilah kita mulai berkaca pada masa lalu. Sejarah dan sikap moral yang mulia dari para pendahulu kita, baik wali songo maupun Soekarno Hatta. Mereka pasti juga tidak menginginkan intoleransi makin subur di negara kita. Mereka mungkin sedih melihat satu pihak menghentikan kegiatan ibadah umat lain. Mereka juga mungkin tidak menginginkan anak sekolah dipaksa berkerudung padahal dia umat lain.
Berbangsa apalagi di negara yang sangat beragam , memang memerlukan energi ekstra. Baik untuk saling memahami maupun saling menghargai. Tapi jangan sampai kita saling membenci karena ego kita terhadap agama .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H