Mohon tunggu...
riska nuraini
riska nuraini Mohon Tunggu... Ahli Gizi - suka menolong orang

seorang yang senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Lakukan Politik Identitas atas Nama Demokrasi

15 Juni 2022   14:52 Diperbarui: 15 Juni 2022   15:25 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara teori, sebenarnya politik identitas berkembang dari benua Eropa dan Amerika. Politik identitas sebagai gerakan sebenarnya mengusung isu besar yang sebenarnya agung yaitu kesetaraan (equality). Isu kesetaraan itu memang sangat dibutuhkan pada soal-soal gender, perjuangan kulit hitam dan kemompok marjinal lainnya. Gerakan itu biasanya diperjuangan karena mereka terpinggirkan oleh hegemoni dan dominasi arus besar dalam sebuah negara.

Politik identitas dalam track yang benar bisa kita lihat dengan pencapaian Barack Obama menjadi Presiden kulit hitam pertama yang memimpin negara Amerika  Serikat atau Marthin Luther King yang memperjuangan hak-hak sipil pada tahun 1954 sampai 1968. Ia dikenal karena menuntut hak sipil dengan cara non-kekerasan dan ketidakpatuhan sipil sesuai ajaran Kristen dan terinspirasi oleh aktivisme damai Mahatma Gandhi.

Namun gerakan politik identitas itu kemudian bergeser atau lebih tepatnya tereduksi dan menurut akademisi Agnes Heller berkembang menjadi sebuah gerakan politik yang meruncing bahwa perbedaan sebagai satu kategori politik yang utama. Ini artinya, semua perbedaan yang berserak di ranah sosial tersebut dieksplotasi dan dikapitalisasi untuk kemudian dikonversi menjadi electoral vote. Di Indonesia ini mengarah ke isu SARA di tengah negara yang bersifat plural. 

Ini hal penting mengingat proses reduksi (menyempit) ini nyaris identik dengan hal yang negatif. Padahal praktik politik identitas sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Ia lebih menyerupai pedang yang bermata dua. Di satu sisi, politik identitas menjanjikan adanya pengakuan pada entitas tertentu. Hal ini terjadi pada munculnya konsep keadilan gender yang diawali dari pengakuan terhadap identitas keperempuanan.

Politik identitas yang mengarah ke hal yang negatif ini tidak jarang terwujud pada arogansi mayoritas yang mendeskreditkan yang lain. Kita bisa melihat pada Pilkada Jakarta tahun 2017 dan Pilpres pada tahun 2018, menunjukkan bahwa politik identitas yang dimainkan secara maksimal dan mengatasnamakan demokrasi berhasil "membujuk" banyak warga untuk memilih calon tertentu dan memberikan efek negatif bagi yang lain sehingga calon ini sampai diadili dan dipenjarakan.

Begitu massifnya dan terbukti bisa membelah bangsa, sejatinya politik identitas adalah ancaman bagi demokrasi dan nasionalisme di Indonesia. Apalagi Indonesia yang plural sangat butuh kedewasaan paripurna untuk memahami perbedaan yang ada. Karena sejatinya Indonesia dibangun dari perbedaan. Jangan sampai atas nama demokrasi kita menghalalkan politik identitas dalam perjalanan kebangsaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun