Mohon tunggu...
riska nuraini
riska nuraini Mohon Tunggu... Ahli Gizi - suka menolong orang

seorang yang senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Fitri, Prasangka dan Kekerasan

6 Mei 2022   09:31 Diperbarui: 6 Mei 2022   09:33 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita masih dalam suasana Idul Fitri 1443 H yang tahun ini dalam keadaan normal, artinya tidak ada pembatasan untuk bepergian dari satu daerah ke daerah lain karena pandemi Covid-19. Ini tentu membuat gembira karena selama dua tahun berselang rasa rindu kita untuk bersilaturahmi dengan keluarga di luar kota (bila ada) harus kita pendam.

Idul Fitri memang sangat spesial bagi negara dengan mayoritas muslim ini. Idul Fitri berasal dari bahasa Arab 'Id al Fitri yang secara harafiah bermakna kembali pada fitrah. Fitrah dari asal usulnya berasal dari akar kata fathara-fathran (membelah, tumbuh, merobek) maka fitrah dimaknai sebagai awal (lahir) yaitu sifat yang dibawa saat lahir yaitu suci.

Karena itu setelah berpuasa selama sebulan lamanya dan mengekang banyak hal yang berkenaan dengan nafsu maka saat mereka berhasil melampaui kekangan hawa nafsu maka jiwa kita seperti bayi yang baru lahir alias fitrah. Hawa nafsu yang dimiliki manusia amat kompleks semisal nafus memiliki harta, kekuasaan dll , dalam hal ini serakah. Hawa nafsu dalam konteks kekinian juga berarti terlalu bebas mengumbar kemarahan baik secara off air maupun  di media sosial. Saat bulan ramadhan kita menahan ini semua dan saat Idul Fitri adalah hari kemenangan yang layak dirayakan.

Namun jika kita tilik kembali, meski secara fisik (menahan lapar dan haus) bisa kita lampaui namun di media sosial , ujaran kebencian dan kata-kata tak layak diucapkan (ditulis) masih saja terjadi. Dalam hal ini semisal soal apapun yang dilakukan oleh Presiden Indonesia meski dalam konteks dan tujuan baik , masih saja dinilai dengan kata tak pantas.

Provokasi, adu domba dan lontaran permusuhan juga sering kita lihat di media sosial jika mereka tidak satu paham dengan penulis narasi. Bahkan di masa lalu ada bom yang dilakukan tepat menjelang Idul Fitri. Bom yang bisa diartikan sebagai kekerasan kepada sesama selayaknya tidak dilakukan tidak saja pada hari fitri itu namun sepanjang hidup kita, sebagai umat Islam, kemanusiaan adalah hal yang paling mulia.

Seharusnya Idul Fitri menjadi momentum terbaik untuk mengurangi bahkan menghapus sifat-sifat buruk itu. Agama sebaiknya jauh dari politik; asal berbeda jalan politik apa saja dikritik dan dikaitkan dengan agama. Agama manapun tidak pernah mengajarkan kekerasan.

Idul Fitri sebagai hari kemenangan seharusnya dipertahankan sebagai usaha untuk mempertahankan nilai-nilai spiritualitas. Menjalani agama dengan baik yaitu taat menjalami perintah agama dan menjauhi larangannya. Ramadhan juga mengajarkan kita untuk menumbuhkan rasa empati dan persahabatan dengan sesama. Karena itu jauhkan dari prasangka dan kekerasan.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun