Dua peristiwa pada akhir Maret 2021 memang mengejutkan banyak pihak. Pertama adalah upaya pengeboman gereja Katedral Makassar pada hari Minggu (28/3/2021) yang menewaskan dua pengebomnya sendiri dan melukai belasan orang jemaat gereja dan masyarakat yang kebetulan melewati jalan itu.
Kedua adalah penyerangan seorang wanita ke Mabes Polri dengan sebuah senjata air soft gun pada Rabu sore (30/3/2021). Penyerang yang merupakan milenial ini tewas ditempat karena ditembak petugas. Peristiwa ini mengagetkan seluruh bangsa karena penyerangan kepada polisi atau pos polisi memang beberapa kali terjadi sejak tahun 2000-an, namun penyerangan ke markas besar kepolisian baru pertama kali ini terjadi.
Hal yang sama dari dua kegiatan terorisme ini adalah bahwa katiga pelakunya adalah generasi milenials (umur 25-26 tahun). Mereka begitu percaya bahwa tindakan mereka adalah jihad, dan jika perjuangan mereka berakhir dengan kematian, maka mereka akan dimuliakan. Mereka juga meninggalkan surat wasiat yang mempersoalkan hubungan keluarga mereka dengan bank dan negara yang mereka sebut thougut (sesat).
Jika pelaku pengeboman di gereja Katedral masih berhubungan dengan teroris lain di Makassar karena diketahui bahwa pernikahan mereka dilakukan oleh teroris di Makasar yang tewas saat penggebrekan sebelumnya, namun terduga penyerangan di Mabes Polri ini bertindak atas nama sendiri dan jaringannya belum diketahui. Ini yang kemudian disebut oleh para ahli teroris dinamakan lone wolf.
Jika merujuk peristiwa terorisme dalam sepuluh tahun terakhir, para pelaku tidak saja menyerang symbol-simbol agama dan orang atau bangunan milik orang asing (kafir) tapi juga para aparat negara seperti pos polisi, polsek atau polres dan kini Mabes Polri. Penyerangan polisi dan kantor polisi di Medan Sumut, Wonokromo di Surabaya dan di Solo adalah bukti dari pergeseran target terorisme ini.
Penyerangan kepada polisi dan propertinya sebenarnya bisa dirunut hingga tahun 2010 saat kamp pelatihan teroris di Aceh dibongkar oleh polisi dan sejumlah terduga teroris tewas. Sejak itu sasarannya tidak konvensional lagi, namun para teroris kemudian memilih polisi dan propertinya menjadi sasaran empuk. Sehingga motivasinya bukan saja ideologis namun juga balas dendam.
Ini merupakan tantangan bagi bangsa Indoensia , siapapun itu. Kita perlu menelisik kembali, aspek ideologis di sekitar kita yang mungkin saja bersinggungan dengan paham intoleransi dan radikalisme. Aspek pendidikan anak, situs-situs yang sering dikunjungi oleh anak, mentor di pengajian dll. Jangan sampai mereka menularkan intoleransi dan radkalisme kepada generasi muda kita, dan kemudian pada saatnya mereka bertindak seperti pelaku bom di gereja Katedral Makassar dan penyerang di Mabes Polri yang terbukti memiliki pemikiran tak umum soal agama dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H